http//www.manahilkhair.com

special for AiLL My son n Muhar my wife

Jumat, 09 Oktober 2009

ASKEP PADA KLIEN TB PARU

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TB PARU & HEMAPTOE
Pangertian
Penyakit infeksi kronis dengan karakteristik terbentuknya tuberkel granuloma pada paru.

Etiologi
Mycobacterium tuberkulosis (Amin, M.,1999).

Faktor Resiko
 Rasial/Etnik group : Penduduk asli Amerika, Eskimo, Negro, Imigran dari Asia Tenggara.
 Klien dengan ketergantuangan alkhohol dan kimia lain yang menimbulkan penurunan status kesehatan.
 Bayi dan anak di bawah 5 tahun.
 Klien dengan penurunan imunitas : HIV positip, terapi steroid & kemoterapi kanker.

Gejala Klinis
1. Demam (subfebris, kadang-kadang 40 - 41 C, seperti demam influensa.
2. Batuk (kering, produktif, kadang-kadang hemoptoe (pecahnya pembuluh darah).
3. Sesak napas, jika infiltrasi sudah setengah bagian paru.
4. Nyeri dada, jika infiltrasi sudah ke pleura.
5. Malaise , anoreksia, badan kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.

Pengkajian (Doegoes, 1999)
1. Aktivitas /Istirahat
- Kelemahan umum dan kelelahan.
- Napas pendek dgn. Pengerahan tenaga.
- Sulit tidur dgn. Demam/kerungat malam.
- Mimpi buruk.
- Takikardia, takipnea/dispnea.
- Kelemahan otot, nyeri dan kaku.
2. Integritas Ego :
- Perasaan tak berdaya/putus asa.
- Faktor stress : baru/lama.
- Perasaan butuh pertolongan
- Denial.
- Cemas, iritable.

3. Makanan/Cairan :
- Kehilangan napsu makan.
- Ketidaksanggupan mencerna.
- Kehilangan BB.
- Turgor kulit buruk, kering, kelemahan otot, lemak subkutan tipis.
4. Nyaman/nyeri :
- Nyeri dada saat batuk.
- Memegang area yang sakit.
- Perilaku distraksi.
5. Pernapasan :
- Batuk (produktif/non produktif)
- Napas pendek.
- Riwayat tuberkulosis
- Peningkatan jumlah pernapasan.
- Gerakan pernapasan asimetri.
- Perkusi : Dullness, penurunan fremitus pleura terisi cairan).
- Suara napas : Ronkhi
- Spuntum : hijau/purulen, kekuningan, pink.
6. Kemanan/Keselamatan :
- Adanya kondisi imunosupresi : kanker, AIDS, HIV positip.
- Demam pada kondisi akut.
7. Interaksi Sosial :
- Perasaan terisolasi/ditolak.

Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
3. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, penurunan geraan silia, stasis dari sekresi.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, terapi dan pencegahan berhubungan dengan infornmasi kurang / tidak akurat.

Intervensi
Diagnosa Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
Tujuan : Kebersihan jalan napas efektif.
Kriteria hasil :
 Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
 Mendemontrasikan batuk efektif.
 Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.

Rencana Tindakan :
1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
3. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
4. Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
5. Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
6. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
7. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.
8. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
9. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian expectoran.
Pemberian antibiotika.
Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Diagnosa Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
Tujuan : Pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil :
 Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.
 Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
 Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.

Rencana tindakan :
1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2. Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
6. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian antibiotika.
Pemeriksaan sputum dan kultur sputum.
Konsul photo toraks.
R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Diagnosa Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
Tujuan : Kebutuhan nutrisi adekuat
Kriteria hasil :
 Menyebutkan makanan mana yang tinggi protein dan kalori
 Menu makanan yang disajikan habis
 Peningkatan berat badan tanpa peningkatan edema

Rencana tindakan
1. Diskusikan penyebab anoreksia, dispnea dan mual.
R/ Dengan membantu klien memahami kondisi dapat menurunkan ansietas dan dapat membantu memperbaiki kepatuhan teraupetik.


2. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan.
R/ Keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan.
3. Tawarkan makan sedikit tapi sering (enam kali sehari plus tambahan).
R/ Peningkatan tekanan intra abdomen dapat menurunkan/menekan saluran GI dan menurunkan kapasitas.
4. Pembatasan cairan pada makanan dan menghindari cairan 1 jam sebelum dan sesudah makan.
R/ cairan dapat lebih pada lambung, menurunkan napsu makan dan masukan.
5. Atur makanan dengan protein/kalori tinggi yang disajikan pada waktu klien merasa paling suka untuk memakannya.
R/ Ini meningkatkan kemungkinan klien mengkonsumsi jumlah protein dan kalori adekuat.
6. Jelaskan kebutuhan peningkatan masukan makanan tinggi elemen berikut
a. Vitamin B12 (telur, daging ayam, kerang).
b. Asam folat (sayur berdaun hijau, kacang-kacangan, daging).
c. Thiamine (kacang-kacang, buncis, oranges).
d. Zat besi (jeroan, buah yang dikeringkan, sayuran hijau, kacang segar).
R/ Masukan vitamin harus ditingkatkan untuk mengkompensasi penurunan metabolisme dan penyimpanan vitamin karena kerusakan jarinagn hepar.
7. Konsul dengan dokter/shli gizi bila klien tidak mengkonsumsi nutrien yang cukup.
R/ Kemungkinan diperlukan suplemen tinggi protein, nutrisi parenteral,total, atau makanan per sonde.
Daftar Pustaka

Amin, M., (1999). Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :Airlangga Univerciti Press
Carpenito, L.J., (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta : EGC
(2000). Diagnosa Keperawatan. Ed. 8. Jakarta : EGC
Doengoes, (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGc

Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius.

Rabu, 07 Oktober 2009

Askep PPOM

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

1. Pengertian
a. PPOK Merujuk pada sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar Paru. Gangguan yang penting adalah Bronkhitis Obstrukqtif, Emphysema dan Asthma Bronkiale. (Black. J. M. & Matassarin,.E. J. 1993).

b. Suatu kondisi dimana aliran udara pada paru tersumbat secara terus menerus. Proses penyakit ini adalah seringkali kombinasi dari 2 atau 3 kondisi berikut ini (Bronkhitis Obstruktif Kronis, Emphysema dan Asthma Bronkiale) dengan suatu penyebab primer dan yang lain adalah komplikasi dari penyakit primer.(Enggram, B. 1996).

Bronkhitis Kronis
Gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan termanifestasikan dalam bentuk batuk kronis dan pembentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, paling sedikit 2 tahun berturut – turut.

Emphysema
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar

Asthma Bronkiale
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trachea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh peyempitan yang menyeluruh dari saluran nafas.

Asthma dibedakan menjadi 2 :
1. Asthma Bronkiale Alergenik
2. Asthma Bronkiale Non Alergenik

Asthma tidak dibahas disini karena gejala dan tanda lebih spesifik dan ada pembahasan khusus mengenai penyakit asma



Penyebab PPOK
a. Bronkitis Kronis
1) Faktor tak diketahui
2) Merokok
3) Polusi Udara
4) Iklim

b. Emphysema
1) Faktor tak diketahui
2) Predisposisi genetic
3) Merokok
4) Polusi udara

c. Asthma Bronkiale
Faktor Prediasposisi nya adalah :
1. Alergen (debu, bulu binatang, kulit dll)
2. Infeksi saluran nafas
3. Stress
4. Olahraga (kegiatan jasmani berat )
5. obat-obatan
6. Polusi udara
7. lingkungan kerja
8. Lain-lain, (iklim, bumbu masak, bahan pengawet dll)

3. Gambaran Klinis
a. Asthma Bronkiale
Selama serangan klien mengalami dispnea dan tanda kesulitan bernafas. Permulaan tanda serangan terdapat sensasi kontriksi dada (dada terasa berat), Whezing, batuk non produktif, takhi kardi dan takipnea.

b. Manifestasi klinis Emphysema dan bronkhitis kronis
GAMBARAN EMPHYSEMA BRONKHITIS
Mulai timbul Usia 30 – 40 tahun 20 – 30 tahun batuk akibat merokok (cacat pada usia pertengahan)
Sputum Minimal Banyak sekali
Dispne Dispnea relatif dini Lambat
Rasio V/Q Ketidakseimbangan minimal Ketidakseimbangan nyata
Bnetuk Tubuh Kurus dan ramping Gizi cukup
Diameter AP dada Dada seperti tong Tidak membesar
Gambaran respirasi Hyperventilasi Hypoventilasi
Volume Paru FEV 1 rendah
TLC dan RV meningkat FEV 1 rendah
TLC normal RV meningkat moderat
Pa O2
Sa O 2 Norml/rendah
normal Meningkat
Desaturasi
Polisitemia normal Hb dan Hematokrit meningkat
Sianosis Jarang Sering

MANAGEMEN MEDIS
Intervensi medis bertujuan untuk :
1) Memelihara kepatenan jalan nafas dengan menurunkan spasme bronkus dan membersihkan secret yang berlebihan
2) Memelihara keefektifan pertukaran gas
3) Mencegah dan mengobati infeksi saluran pernafasan
4) Meningkatkan toleransi latihan.
5) Mencegah adanya komplikasi (gagal nafas akut dan status asmatikus)
6) Mencegah allergen/iritasi jalan nafas
7) Membebaskan adanya ansietas dan mengobati depresi yang sering menyertai adanya obstruksi jalan nafas kronis.

Managemen medis yang diberikan berupa
1) Pharmacologic management
a) Anti inflamasi ( kortikosteroid, sodium kromolin dll)
b) Bronkodilator
Adrenergik : efedrin, epineprin, beta adrenergik agonis selektif
Non adrenergik : aminophilin, tefilin
c) Antihistamin
d) Steroid
e) Antibiotic
f) Ekspektoran
Oksigen digunakan 3 l/m dengan cannula nasal.
2) Hygiene Paru.
Bertujuan untuk membersihkan sekret dari paru-paru dan kemudian meningkatkan kerja silia dan menurunkan resiko infeksi.
Dilaksanakan dengan nebulizer, fisioterapi dada, postural drainase
3) Exercise
Bertujuan untuk mempertinggi kebugaran dan melatih fungsi otot skeletal agar lebih efektif.
Dilaksanakan dengan jalan sehat.
4) Menghindari bahan iritans
Penyebab iritans jalan nafas harus dihindari seperti asap rokok dan perlu juga mencegah adanya alergen yang masuk tubuh.
5) Diet
Klien sering mengalami kesulitan makan karena adanya dipsnea. Pemberian porsi yang kecil namun sering lebih baik daripada makan langsung banyak.

MANAGEMENT KEPERAWATAN
Pengkajian :
1. Riwayat atau faktor penunjang :
- Merokok merupakan faktor penyebab utama.
- Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
- Riwayat alergi pada keluarga
- Riwayat Asthma pada anak-anak.

2. Riwayat atau adanya faktor pencetus eksaserbasi :
- Alergen.
- Stress emosional.
- Aktivitas fisik yang berlebihan.
- Polusi udara.
- Infeksi saluran nafas.

3. Pemeriksaan fisik :
a. Manifestasi klinik Penyakit Paru Obstruktif Kronik :
• Peningkatan dispnea.
• Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot abdominal, mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping hidung).
• Penurunan bunyi nafas.
• Takipnea.
b. Gejala yang menetap pada penyakit dasar
 Asthma
 Batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan perasaan dada seperti terikat.
 Mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat terdengar tanpa stetoskop.
 Pernafasan cuping hidung.
 Ketakutan dan diaforesis.

 Bronkhitis
 Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang biasanya terjadi pada pagi hari.
 Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing.
 Sesak nafas

 Bronkhitis (tahap lanjut)
 Penampilan sianosis
 Pembengkakan umum atau “blue bloaters” (disebabkan oleh edema asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmunal).

 Emphysema
 Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter thoraks anterior posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru).
 Fase ekspirasi memanjang.

 Emphysema (tahap lanjut)
 Hipoksemia dan hiperkapnia.
 Penampilan sebagai “pink puffers”
 Jari-jari tabuh.

4. Pemeriksaan diagnostik
 Test faal paru
1) Kapasitas inspirasi menurun
2) Volume residu : meningkat pada emphysema, bronkhitis dan asthma
3) FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif Penyakit Paru Obstruktif Kronik
4) FVC awal normal  menurun pada bronchitis dan astma.
5) TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada emphysema).

 Transfer gas (kapasitas difusi).
Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik Transfer gas relatif baik.
Pada emphysema : area permukaan gas menurun.

Transfer gas (kapasitas difusi).menurun

 Darah :
Hb dan Hematokrit meningkat pada polisitemia sekunder.
Jumlah darah merah meningkat
Eo dan total IgE serum meningkat.
Analisa Gas Darah  gagal nafas kronis.
Pulse oksimetri ® SaO2 oksigenasi menurun.
Elektrolit menurun oleh karena pemakaian deuritika pada cor pulmunale.

 Analisa Gas Darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada astma. PH normal asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.

 Sputum :
Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran.
Kuman patogen >> :
Streptococcus pneumoniae.
Hemophylus influenzae.
Moraxella catarrhalis.

 Radiologi :
Thorax foto (AP dan lateral).
Hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan area paru-paru.

Pada emphysema paru :
 Distensi >
 Diafragma letak rendah dan mendatar.
 Ruang udara retrosternal > (foto lateral).
 Jantung tampak memanjang dan menyempit.
 Bronkogram : menunjukkan dilatasi bronkus, kolap bronkhiale pada ekspirasi kuat.

 EKG.
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat Kor Pulmonal terdapat deviasi aksis ke kanan dan P- pulmonal pada hantaran II, III dan aVF. Voltase QRS rendah. Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 V1 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.

5. Lain-lain perlu dikaji Berat badan, rata-rata intake cairan dan diet harian.

Aktivitas dan Istirahat
Gejala Keletihan, kelelahan, malaise
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas. Perlu tidur dalam posisi duduk cukup tingi. Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan
Tanda Kelelahan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan masa otot
Sirkulasi
Gejala Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda Peningkatan tekanan darah. Peningkatan frekuensi jantung
Distensi vena leher, sianosis perifer
Integritas ego
Gejala/tanda Ansietas, ketakutan dan peka rangsang
Makanan/cairan
Gejala Mual/muntah, Nafsu makan menurun, ketidakmampuan makan karena distress pernafasan
Penurunanan BB menetap (empisema) dan peningkatan BB karena edema (Bronkitis)
Tanda Turgor kulit buruk, edema, berkeringat, penurunan BB, penurunan massa otot
Hygiene
Gejala Penurunan Kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas tubuh
Tanda Kebersihan buruk, bau badan
Pernafasan
Gejala Nafas pendek, khususnya pada saat kerja, cuaca atau episode serangan asthma, rasa dada tertekan/ketidakmampuan untuk bernafas. Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari selama 3 bulan berturut-turut selam 3 tahun sedikitnya 2 tahun. Sputum hijau, putih, kuning dengan jumlah banyak (bronchitis)
Episode batuk hilang timbul dan tidak produktif (empisema),
Riwayat Pneumonia, riwayat keluarga defisiensi alfa antitrypsin
Tanda Respirasi cepat dangkal, biasa melambat, fas ekspirasi memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (empisema)
Pengguanaan otot Bantu pernafasan, Dada barell chest, gerakan diafragma minimal. Bunyi nafas, Ronki, wheezing, redup
Perkusi hypersonor pada area paru (udara terjebak, dan dapat juga redup/pekak karena adanya cairan).
Kesulitan bicara 94 – 5 kalimat 0
Sianosis bibir dan dasar kuku, jari tabuh.
Seksualitas Libido menurun
Interaksi sosial
Gejala Hubungan ketergantungan, kurang sisitem pendukung
tanda Keterbatasan mobilitas fisik
Kelalaian hubungan antar keluarga

Diagnosa keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan pembatasan jalan nafas, kelelahan otot pernafasan, peningkatan produksi mukus atau spasme bronkus.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan batuk, peningkatan produksi mukus/peningkatan sekresi lendir
3. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder terhadap peningkatan kerja pernafasan atau kesulitan masukan oral sekunder dari anoreksia.
4. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adequatnya immunitas tubuh
6. Kurang pengetahuan berhu bungan dengankurang informasi

Perencanaan
Perencanaan meliputi penyusunan prioritas, tujuan dan kriteria hasil dari masing-masing masalah yang ditemukan.

Tujuan Penatalaksanaan
• Mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
• Pemeliharaan fungsi paru yang optimal dalam waktu singkat dan panjang.
• Pencegahan dan penanganan eksaserbasi.
• Mengurangi perburukan fungsi paru setiap tahunnya.

Kriteria Keberhasilan :
• Berkurangnya gejala sesak nafas.
• Berkurangnya frekuensi dan lamanya eksaserbasi.
• Membaiknya faal paru.
• Menurunnya gejala psikologik (depresi, kecemasan).
• Memperbaiki kualitas hidup.
• Dapat melakukan aktifitas sehari-hari.

ASKEP GASTRO ENTERITIS

BAB I
PENDAHULUAN

Kedaruratan medic dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok manusia pada suatu saat dan dimana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit dimana saja secara mendadak, kecelakaan ataupun bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya di rumah sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah atau membatasi kecatatan serta meringankan penderitaan dari penderita.

Selain pertolongan, keadaan ini juga membutuhkan pengetahan dan keterampilan yang baik dari penolong. Oleh karena itu, sebagai seorang tenaga kesehatan kita dituntu untuk terampil dalam menangani segala hal yang berhubungan dengan hal-hal yang mengancam kehidupan manusia.

Makalah ini akan membahas tentang penanggulangan gawat darurat pada pasien gastroenteritis. Kasus ini cukup banyak ditemui di rumah sakit bahkan di temui dalam lingkungan kita sehari-hari. Oleh karena itu, sebagai penulis kami berharap makalah ini dapat berguna sebagai penuntun dalam menghadapi kasus seperti ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna bagi kita semua dan dapat menambah ilmu pengetahuan kita. Kami juga akan sangat berterima kasih jika teman-teman memberikan saran dan kritik buat kesempurnaam makalah ini sehingga ilmu dan keterampilan kita.










BAB II
KONSEP MEDIS

II.1 Pengertian
Adalah radang pada lambung dan usus yang memberikan gejala diare, dengan atau tanpa disertai muntah, dan sering kali disertai peningkatan suhu tubuh. Diare yang dimaksudkan adalah buang air besar berkali-kali (dengan jumlah yang melebihi 4 kali, dan bentuk Faeses yang cair, dapat disertai dengan darah atau lendir).

II.2 Etiologi
1. Makanan dan Minuman
a. kekurangan zat gizi; kelaparan (perut kosong) apalagi bila perut kosong dalam waktu yang cukup lama, kemudian diisi dengan makanan dan minuman dalam jumlah banyak pada waktu yang bersamaan, terutama makanan yang berlemak, terlalu manis, banyak serat atau dapat juga karena kekurangan zat putih telur.
b. Tidak tahan terhadap makanan tertentu (Protein, Hidrat Arang, Lemak) yang dapat menimbulkan alergi.
c. Keracunan makanan
2. Infeksi atau Investasi Parasit
Bakteri, virus, dan parasit yang sering ditemukan:
a. Vibrio Cholerae, E. coli, Salmonella, Shigella, Compylobacter, Aeromonas.
b. Enterovirus (Echo, Coxsakie, Poliomyelitis), Adenovius, Rotavirus, Astovirus.
c. Beberapa cacing antara lain: Ascaris, Trichurius, Oxyuris, Strongyloides, Protozoa seperti Entamoeba Histolytica, Giardia lamblia, Tricomonas Hominis.
3. Jamur (Candida Albicans)
4. Infeksi diluar saluran pencernaan yang dapat menyebabkan Gastroenteritis adalah Encephalitis (radang otak), OMA (Ortitis Media Akut 􀃆 radang dikuping), Tonsilofaringitis (radang pada leher 􀃆 tonsil), Bronchopeneumonia (radang paru).
5. Perubahan udara
Perubahan udara sering menyebabkan seseorang merasakan tidak enak dibagian perut, kembung, diare dan mengakibatkan rasa lemas, oleh karena cairan tubuh yang terkuras habis.
6. Faktor Lingkungan
Kebersihan lingkungan tidak dapat diabaikan. Pada musim penghujan, dimana air membawa sampah dan kotoran lainnya, dan juga pada waktu kemarau dimana lalat tidak dapat dihindari apalagi disertai tiupan angin yang cukup besar, sehingga penularan lebih mudah terjadi. Persediaan air bersih kurang sehingga terpaksa menggunakan air seadanya, dan terkadang lupa cuci tangan sebelum dan sesudah makan.

II.3 Patofisiologi
Penularan gastroenteritis biasa melalui fekal oral dari satu penderita ke yang lainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen dikarenakan makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolt ke dalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan seksresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan multilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri itu adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (Asidosis Metbolik dan Hipokalemi), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi darah.

II.4 Gejala Klinik
Pasien dengan diare akibat infeksi sering mengalami nausea, muntah, nyeri perut sampai kejang perut, demam dan diare terjadi renjatan hipovolemik harus dihindari kekurangan cairan menyebabkan pasien akan merasa haus, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun, serta suara menjadi serak, gangguan biokimiawi seperti asidosis metabolik akan menyebabkan frekuensi pernafasan lebih cepat dan dalam (pernafasan kusmaul). Bila terjadi renjatan hipovolemik berat maka denyut nadi cepat (lebih dari 120 kali/menit) tekanan darah menurun tak terukur, pasien gelisah, muka pucat, ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis, kekurangan kalium dapat menimbulkan aritmia jantung. Perfusi ginjal dapat menurun sehingga timbul anuria, sehingga bila kekurangan cairan tak segera diatasi dapat timbul penulit berupa nekrosis tubular akut.
Secara klinis dianggap diare karena infeksi akut dibagi menjadi dua golongan pertama, kolerifrom, dengan diare yang terutama terdiri atas cairan saja. Kedua disentriform, pada saat diare didapatkan lendir kental dan kadang-kadang darah.





















BAB III
ASKEP KEGAWATDARURATAN

1. Pengkajian
Selalu menggunakan pendekatan ABCDE.
Airway
a. Pastikan kepatenan jalan napas
b. Siapkan alat bantu untuk menolong jalan napas jika perlu
c. Jika terjadi perburukan jalan napas segera hubungi ahli anestesi dan bawa ke ICU
Breathing
a. Kaji respiratory rate
b. Kaji saturasi oksigen
c. Berikan oksigen jika ada hypoksia untuk mempertahankan saturasi > 92%
d. Auskultasi dada
e. Lakukan pemeriksaan rontgent
Circulation
a. Kaji denyut jantung
b. Monitor tekanan darah
c. Kaji lama pengisian kapiller
d. Pasang infuse, berikan ciaran jika pasien dehidrasi
e. Periksakan dara lengkap, urin dan elektrolit
f. Catat temperature
g. Lakukan kultur jika pyreksia
h. Lakukan monitoring ketat
i. Berikan cairan per oral
j. Jika ada mual dan muntah, berikan antiemetik IV.

Disability
a. Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU
Exposure
a. Kaji riwayat sedetil mungkin
b. Kaji makanan dan minuman yang dikonsumsi sebelumnya
c. Kaji tentang waktu sampai adanya gejala
d. Kaji apakah ada anggota keluarga atau teman yang terkena
e. Apakah sebelumnya baru mengadakan perjalanan?
f. Lakukan pemeriksaan abdomen
g. Lakukan pemeriksaan roentgen abdominal
h. Ambil samper feses untuk pemeriksan mikroskopi, kultur dan sensitivitas
i. Berikan anti diare seperi codein atau loperamide sampai hasil kultur diketahui
j. Jangan dulu berikan antibiotic sampai dengan hasil kultur diketahui
k. Laporkan jika mengalami keracunanan makanan

2. Penatalaksanan
Untuk penatalaksanaan dibedakan atas kasus dewasa dan anak-anak
a. Untuk dewasa
Gejala dan tanda :
Secara klinis dibedakan dalam dua bentuk :
Gastroenteritis Choleriform
Penyebabnya antara lain : ialah Vibrio Parachemolitica,Vibrio Eltor, E. Coli, Clastridia, keracunan makanan. Bentuk ini trersering menyebabkan dehidrasi. Gejala utamanya diare dan muntah. Diare yang terjadi tanpa mules tanpa tenesmus dan tidak mual. Bentuk tinja seperti air cucian beras.
Gastroenteritis disentriform
Penyebabnya antara lain ialah Entamoeba Histolitica, Shigella, Salmonella. Bentuk ini jarang mengakibatkan dehidrasi. Gejala yang timbul ialah kolik, diare, tenesmus, kotoran mengandung darah dan lender yang semuanya disebut sindrom disentri.
Penatalaksanaan :
Prinsip penatalaksanaannya adalah :
Menggantikan cairan yang hilang dan mengatasi syok
Mengganti elektrolit yang hilang
Mengenal dan mengatasi komplikasi yang terjadi
Memberantas penyebabnya
Urutan tindakan ialah :
Menentukan nilai untuk menghitung jumlah cairan yang dibutuhkan.
Pedoman menentukan nilai untuk menhitung jumlah cairan yang dibutuhkan pada penanggulangan kasus Gastroenteritis
Gejala Nilai
1. Muntah
2. Apatis
3. Somnolent, sophorous
4. TDS < 90 mmHg
5. TDS < 60 mmHg
6. Nadi > 120/menit
7. Pernapasan > 30/menit
8. Turgor menurun
9. Ekstremitas dingin
10. Washer woman’s hand
11. Vox cholerica
12. Facies cholerica
13. Sianosis
14. Umur antara 50-60 tahun
15. Umur > 60 thun
16. Underweight 1
1
2
1
2
1
1
1
1
1
2
2
2
-1
-2
-1

Pemberian cairan dan elektrolit.
Cairan diberikan sebanyak :
Nilai
------- X berat badan x 0,1 x 1 liter
15
Yang diberikan dalam waktu 2 jam. Dua jam berikutnya diberikan cairan sebanyak pengeluaran cairan 2 jam pertama, demikian selanjutnya tiap 2 jam dihitung cairan yang keluar.
Cara pemberian cairan adalah :
Per Oral
Diberikan bila nilai kurang dari 3. Untuk menghindari muntah, maka kadar kalium harus rendah, misalnya dengan menggunakan Cairan COS (Cholera Oral Solution)
Per Infus (I.V.F.D.)
Dapat diberikan bersamaan dengan cairan per oral sehingga mengurangi kebutuhan cairan per infuse. Bila terjadi syok atau penurunan kesadaran, cairan per oral tidak diberikan. Cairan per infuse yang digunakan adalah Ringer Laktat atau Larutan NaCl 0,9% : Na Bikarbonat 1,5% = 2 : 1, ditambah dengan pulvus KCl 3x1 gram secara oral. Bila terjadi Oliguri atau anuri, pemberian Kalium harus hati-hati.
Terapi Kausal
Pada gastroenteritis choleriform, diberi tetrasiklin dan pada gastroenteritis disentriform diberikan metronidazole, Tinidazole, Emetine Bismuth Iodide, Tetrasiklin serta ampicilin.


b. Untuk anak-anak
Gejala dan tanda :
Gejala utama ialah timbulnya diare, sedangkan gejala muntah terjadi sebelum atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai Nampak. Dehidrasi dibagi menurut banyaknya cairan yang hilang, menjadi :
Dehidrasi ringan, jika kehilangan cairan 0-5% atau rata-rata 25 ml/kg BB
Dehidrasi Sedang, jika kehilangan cairan 5-10% atau rata-rata 75 ml/kg BB
Dehidrasi berat, jiika kehilangan cairan 10-15% atau rata-rata125 ml/kg BB
Penatalaksanaan
Mengatasi Dehidrasi
dehidrasi ringan dan sedang
Diberi garam oralit 2-5 gelas/hari selama 2-3 hari. ASI tetap diberikan. Sebaiknya penberian oralit dengan sendok, tidak dengan botol, sebab dot pada botol dapat merangsang tenggorok sehingga menimbulkan muntah. Adanya muntah tidak merupakan kontra indikasi bagi pemberian oralit; dalam keadaan ini, pemberian sedikit-sedikittapi sering dan bila muntah tidak dapat diatasi diberikan obat anti muntah. Secara sederhana dan praktis, garam oralit dapat dibuat dengan cara: ke dalam 1 L air steril dicampurkan ½ sendok the peres NaCl, ¼ sendok the peres Natrium bikarbonat dan 2 sendok makan sendok peres glukosa
Dehidrasi Berat
Penderita dirawat di rumah sakit dan diberikan cairan intravena.
 Neonatus
Cairan yang diberikan adalah 4 : 1 (cairan glukosa 5-10% : Natrium Bikarbonat = 4 : 1). Jumlah kebutuhan cairan dalam 24 jam adalah 250 x BB (dalam CC), 4 jam pertama diberikan ¼ bagian dengan jumlah tetesan X/48 tetes/menit, 20 jam brikutnya, sisa cairan dibagi rata dengan jumlah tetesan X/80 tetes/menit
 Bayi (bukan neonatus)
Empat jam pertama diberikan cairan dengan jumlah tetesan 6 x BB/tetes/menit. Empat jam kedua diberikan cairan 3A dengan tetesan 3 x BB/tetes/menit. Enam belas jam berikutnya, diberikan cairan DG (Darrow Glucose) dengan jumlah tetesan 3 X BB/tetes/menit.
 Neonatus BBLR
Cairan yang diberikan adalah cairan 4 : 1. Jumlah kebutuhan cairan dalam 24 jam ialah 250 x BB (dalam CC).

Pada dehidrasi berulang yaitu bila anak sudah refeeding jatuh dalam dehidrasi kembali, maka pada dehidrasi ringan dan sedang diusahakan memperbanyak intake dengan G.O.S. , sedangkan pada dehidrasi berat maka mulai lagi seperti prinsip di atas. Pada dugaan kolera (dengan gejala buang air besar seperti air cucian beras, pre syok atau syok) diberikan cairan Ringer Laktat pada 1 jam pertama jumlah tetesan adalah 10 x BB/tetes/menit dan 7 jam berikutnya adalah 3 x BB/tetes/menit. Bila setelah 1 jam sudah teratasi, teruskan sampai 1 jam. Bila setelah 1 jam belum teratasi, teruskan sampai teratasi.

Antibiotika
Bila penyebab panas belum dibuktikan/ditemukan, maka pemberian antibiotika adalah sebagai berikut:
Diberikan di atas umur Neonatus
Suhu sampai 38,50c : tidak diberikan antibiotika
38,50C-39,50C : Prokain-penisilin 50.000 U/kgBB/hari
39,5-400C :Prokain-penisilin dan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Lebih dari 400 C : Ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis dan gentamisin 5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Neonatus/BBLR: pemberian antibitika harus agresif diberi ampisilin dan gentamisin

Koreksi asidosis metaboliks
Koreksi sidosis dilakukan bila terdapat gejala pernapasan kusmaul atau secara pasti ditentukan dengan astrup yaitu kadar HCO3- kurang dari 18 mEq/L. Pemberian Na¬ –bikarbonat adalah 0,3 x BB x base excess mEq/L yang diberikan separuh dahulu sedangkan sisanya diberikan kemudian bila masih diperlukan.
Perhitungan pemberian larutan Na-bikarbonat:
Misalnya larutan Na-bikarbonat yang digunakan adalah 7% (Meylon®), maka jumlah pemberian adalah
0,3 x BB x BE x 8,4/7
2
Untuk larutan Na-bikarbonat 8,4% 1 ml = 1 mEq

Koreksi Elektrolit
Biasanya sudah teratasi dengan pemberian cairan 3A dan Darrow Glucose. Namun demikian, bila terjadi Hipokalemi (dengan gejala kembung) dapat diberikan 2-4 mEq/kg BB/24 jam atau diberi KCl per oral 75 mg/kgBB/hari. Bila timbul kembung, anamnesa harus teliti, sebab kembung yang terjadi sebelum diare dicurigai adanya gejala-gejala ileus paralitik, ileus obstruksi atau invaginasi.

Penyulit-penyulit yang mungkin terjadi: kejang, sepsis, bronkopneumonia, encephalitis.





BAB IV
PENUTUP

IV.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang kami ambil dari makalah ini yaitu :
1. Gastrointestinal dalah radang pada lambung dan usus yang memberikan gejala diare, dengan atau tanpa disertai muntah, dan sering kali disertai peningkatan suhu tubuh.
2. pebabnya adalah : Makanan dan Minuman,infeksi atau Investasi Parasit , jamur (Candida Albicans) ,Infeksi diluar saluran pencernaan , .Perubahan udara , Faktor Lingkungan
3 patofisiologinya : gangguan osmotik , gangguan seksresi, Gangguan motilitas usus
4. pengkajian meliputi ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, and Exposure).
5. prinsip penatalaksanaannya adalah :
Menggantikan cairan yang hilang dan mengatasi syok
Mengganti elektrolit yang hilang
Mengenal dan mengatasi komplikasi yang terjadi
Memberantas penyebabnya

IV.2. Saran
Sebaiknya tugas ini diberikan sejak pertemuan awal supaya mahasiswa dapat mempersiapkan dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA
http://nursingspirit.blogspot.com/html. 25 juni 2008. asuhan keperawatan gawat darurat pada gastroenteritis.
http://askep.blogspot.com/html. 08 januari 2008. Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Gastroenteritis.
Sampurna,Budi. 2000. Kedaruratan Medik. Binarupa aksara : Grogol, Jakarta Barat.
Rab, Tabrani. 1998. Critical Care. P.T Alumni: Bandung
Harnawatiaj. 09 Maret 2008. http://Harna’sblog.com/html. Gastroenteritis.

PLACENTA PREVIA

1. Pengertian
Plasenta Previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir”.
( Mansjoer Arif, et al. 2000 : 276)
2. Etiologi
Mengapa plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus tidak selalu dapat diterangkan, bahwasanya vaskularisasi yang berkurang atau perubahan atrofi pada dosidua akibat persalinan yang lampau dan dapat menyebabkan plasenta previa tidak selalu benar, karena tidak nyata dengan jelas bahwa plasenta previa didapati untuk sebagian besar pada penderita dengan paritas fungsi, memang dapat dimengerti bahwa apabila aliran darah ke plasenta tidak cukup atau diperlukan lebih banyak seperti pada kehamilan kembar. Plasenta yang letaknya normal sekalipun akan meluaskan permukaannya, sehingga mendekati atau menutupi sama sekali pembukaan jalan lahir.
3. Klasifikasi
a. Plasenta Previa Totalis, apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.
b. Plasenta Previa Parsialis, apabila sebahagian pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.
c. Plasenta Previa Marginalis, apabila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan.
d. Plasenta Letak Rendah, plasenta yang letaknya abnormal pada segmen bawah uterus tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir.

4. Anatomi Fisiologi
Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15-20 cm dan tebal 2,5 cm, berat rata-rata 500 gram. Tali pusat berhubungan dengan plasenta biasanya di tengah (insersio sentralis). Bila hubungan agak pinggir (insersio lateralis). Dan bila di pinggir plasenta (insersio marginalis), kadang-kadang tali pusat berada di luar plasenta dan hubungan dengan plasenta melalui janin, jika demikian disebut (insersio velmentosa).
Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 10 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uterus, agak ke atas ke arah fundus uteri. Meskipun ruang amnion membesar sehingga amnion tertekan ke arah korion, amnion hanya menempel saja.
Pada umumnya di depan atau di belakang dinding uterus agak ke atas ke arah fundus uteri, plasenta sebenarnya berasal dari sebagian dari janin, di tempat-tempat tertentu pada implantasi plasenta terdapat vena-vena yang lebar (sinus) untuk menampung darah kembali pada pinggir plasenta di beberapa tempat terdapat suatu ruang vena untuk menampung darah yang berasal ruang interviller di atas (marginalis).
Fungsi plasenta ialah mengusahakan janin tumbuh dengan baik untuk pertumbuhan adanya zat penyalur, asam amino, vitamin dan mineral dari ibu kejanin dan pembuangan CO2.
Fungsi Plasenta :
a. Sebagai alat yang memberi makanan pada janin.
b. Sebagai alat yang mengeluarkan bekas metabolisme.
c. Sebagai alat yang memberi zat asam dan mengeluarkan CO2.
d. Sebagai alat pembentuk hormone.
e. Sebagai alat penyalur perbagai antibody ke janin.
f. Mungkin hal-hal yang belum ketahui.
5. Patofisiologi
Pendarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak kehamilan 10 minggu saat segmen bawah uterus membentuk dari mulai melebar serta menipis, umumnya terjadi pada trismester ketiga karena segmen bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan servik menyebabkan sinus uterus robek karena lepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Pendarahan tidak dapat dihindarkan karena ketidak mampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi seperti pada plasenta letak normal.
6. Komplikasi
a. Pada ibu dapat terjadi perdarahan hingga syok akibat perdarahan, anemia karena perdarahan plasentitis, dan endometritis pasca persalinan.
b. Pada janin biasanya terjadi persalinan premature dan komplikasi seperti Asfiksi berat.
c. Laserasi serviks
d. Plasenta akreta
e. Prolaps tali pusat dan prolaps plasenta. ( TM Hanafiah)
7. Gambaran Kinik
Pendarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama dari plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi selagi penderita tidur atau bekerja biasa, perdarahan pertama biasanya tidak banyak, sehingga tidak akan berakibat fatal. Perdarahan berikutnya hampir selalu banyak dari pada sebelumnya, apalagi kalau sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan dalam. Sejak kehamilan 20 minggu segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat dari dinding uterus. Pada saat ini dimulai terjadi perdarahan darah berwarna merah segar.
Sumber perdarahan ialah sinus uterus yang terobek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus perdarahan tidak dapat dihindari karena ketidak mampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan, tidak sebagai serabut otot uterus untuk menghentikan perdarahan kala III dengan plasenta yang letaknya normal makin rendah letak plasenta makin dini perdarahan terjadi, oleh karena itu perdarahan pada plasenta previa totalis akan terjadi lebih dini dari pada plasenta letak rendah, yang mungkin baru berdarah setelah persalinan mulai.
8. Diagnosis
a. Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pada pemeriksaan hematokrit.


b. Pemeriksaan Luar
Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas panggul mengelak ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul.
c. Pemeriksaan In Spekulo
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari osteum uteri eksternum atau dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
d. Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung
Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotope, dan ultrasonagrafi. Ultrasonagrafi penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri.
e. Pemeriksaan Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5 cm disebut plasenta letak rendah.
f. Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif
Dilakukan dengan PDMO yaitu melakukan perabaan secara langsung melalui pembukaan serviks pada perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu dengan anemia berat, tidak dianjurkan melakukan PDMO sebagai upaya menetukan diagnosis.
9. Penatalaksanaan
a. Terapi Ekspektif
1) Tujuan supaya janin tidak terlahir premature, penderita dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam melalui kanalis servisis.
2) Syarat-syarat terapi ekspektif :
- Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.
- Belum ada tanda-tanda in partu.
- Keadaan umum ibu cukup baik.
- Janin masih hidup.
3) Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotik profilaksis.
4) Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta.
5) Berikan tokolitik bila ada kontraksi :
- MgS04 9 IV dosis awal tunggal dilanjutkan 4 gram setiap 6 jam.
- Nifedipin 3 x 20 mg perhari.
- Betamethason 24 mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru janin.
6) Uji pematangan paru janin dengan tes kocok dari hasil amniosentesis.
7) Bila setelah usia kehamilan diatas 34 minggu, plasenta masih berada disekitar ostium uteri interim.
8) Bila perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, pasien dapat dipulang untuk rawat jalan.
b. Terapi Aktif ( tindakan segera ).
1) Wanita hamil diatas 22 minggu dengan perdarahan pervagina yang aktif dan banyak, harus segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa memandang moturitus janin.
2) Lakukan PDMO jika :
a) Infus 1 transfusi telah terpasang.
b) Kehamilan > 37 minggu ( berat badan > 2500 gram ) dan inpartu.
c) Janin telah meninggal atau terdapat anomali kongenital mayor, seperti anesefali.
d) Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati pintu atas panggul ( 2/5 atau 3/5 pada palpasi luar ).
3) Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa seksio sesarea .
a) Prinsip utama adalah menyelamatkan ibu, walaupun janin meninggal atau tidak punya harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilakukan.
b) Tujuan seksio sesarea : persalinan dengan segera sehingga uterus segera berkontraksi dan menghentikan pendarahan, menghindarkan kemungkinan terjadi robekan pada serviks, jika janin dilahirkan pervagina.
c) Siapkan darah pengganti untuk stabiliasi dan pemulihan kondisi ibu.



4) Perawatan Post Operasi Seksio Sesarea.
1. Analgesia
Wanita dengan ukuran tubuh rata-rata dapat disuntik 75 mg Meperidin (intra muskuler) setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk mengatasi rasa sakit atau dapat disuntikan dengan cara serupa 10 mg morfin.
a) Wanita dengan ukuran tubuh kecil, dosis Meperidin yang diberikan adalah 50 mg.
b) Wanita dengan ukuran besar, dosis yang lebih tepat adalah 100 mg Meperidin.
c) Obat-obatan antiemetik, misalnya protasin 25 mg biasanya diberikan bersama-sama dengan pemberian preparat narkotik.
2. Tanda-tanda Vital
Tanda-tanda vital harus diperiksa 4 jam sekali, perhatikan tekanan darah, nadi jumlah urine serta jumlah darah yang hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.
3. Terapi cairan dan Diet
Untuk pedoman umum, pemberian 3 liter larutan RL, terbukti sudah cukup selama pembedahan dan dalam 24 jam pertama berikutnya, meskipun demikian, jika output urine jauh di bawah 30 ml / jam, pasien harus segera di evaluasi kembali paling lambat pada hari kedua.
4. Vesika Urinarius dan Usus
Kateter dapat dilepaskan setelah 12 jam, post operasi atau pada keesokan paginya setelah operasi. Biasanya bising usus belum terdengar pada hari pertama setelah pembedahan, pada hari kedua bising usus masih lemah, dan usus baru aktif kembali pada hari ketiga..
5. Ambulasi
Pada hari pertama setelah pembedahan, pasien dengan bantuan perawatan dapat bangun dari tempat tidur sebentar, sekurang-kurang 2 kali pada hari kedua pasien dapat berjalan dengan pertolongan.


6. Perawatan Luka
Luka insisi di inspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang alternatif ringan tanpa banyak plester sangat menguntungkan, secara normal jahitan kulit dapat diangkat setelah hari ke empat setelah pembedahan. Paling lambat hari ke tiga post partum, pasien dapat mandi tanpa membahayakan luka insisi.
7. Laboratorium
Secara rutin hematokrit diukur pada pagi setelah operasi hematokrit tersebut harus segera di cek kembali bila terdapat kehilangan darah yang tidak biasa atau keadaan lain yang menunjukkan hipovolemia.
8. Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa nyeri.
9. Memulangkan Pasien Dari Rumah Sakit
Seorang pasien yang baru melahirkan mungkin lebih aman bila diperbolehkan pulang dari rumah sakit pada hari ke empat dan ke lima post operasi, aktivitas ibu seminggunya harus dibatasi hanya untuk perawatan bayinya dengan bantuan orang lain.(Cunningham, 1995 : 529)











Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data subjektif
1. Asal mula timbulnya penyakit
a. Perdarahan : permulaan, durasi, jumlah, sifat
1) Plasenta previa : perdarahan vaginal tiba-tiba yang mungkin terjadi karena adanya perdarahan dalam
2) Abruptio placenta : perdarahan vagina yang menghasilkan warna merah tua; jumlahnya tidak tentu karena perdarahannya tersembunyi.
b. Nyeri : pada perut, panggul, dan/atau punggung
1) Plasenta previa : biasanya tidak ada/ terjadi
2) Abruptio placenta : sering terjadi
c. Usia kehamilan (LNMP, EDC)
d. Trauma yang baru terjadi
e. Hubungan seksual
f. Menurunnya pergerakan janin
2. Riwayat medis
a. Peningkatan usia ibu
b. Hipertensi
c. Multipara
d. Robeknya jaringan prematur
e. Awal terjadinya plasenta previa, abruptio placenta, caserean section terdahulu
f. Penggunaan obat illegal
g. Merokok
h. Rendahnya status sosial ekonomi
i. Trauma



b. Data objektif
1. Tes fisik
a. Survei umum
b. Tanda-tanda vital orthostatik
c. Latihan perut : sensitivitas terhadap sentuhan/tekanan, denyut uterus, kontraksi.
d. Latihan perineum : bukti dari perdarahan (speculum atau lattihan pelvic manual merupakan kontraindikasi pada perdarahan vagina trimester dua dan tiga sampai penentuan plasenta dan previa teratasi)
e. Auskultasi denyut jantung janin
2. Prosedur diagnosa
a. CBC
b. Profil koagulasi : PT, PTT, tingkat fibrinogen, hasil fibrin
c. Tipe dan cross-match : paling sedikit empat unit sel darah merah di perdarahan yang dialami oleh pasien
d. Tes Kleihaurer-Betke
e. Serum elektrolit
f. USG panggul
g. Pemantauan terhadap denyut jantung
2. Analisa perbedaan diagnosa perawat/kolaborasi kasus
a. Defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan
b.Gangguan perfusi jaringan ibu dan janin yang berhubungan dengan perdarahan
c. Ansietas berhubungan dengan proses pembedahan/permatur
d. Ancaman kematian berhubungan dengan potensi kegagalan persalinan
3. Rencana intervensi
a. Pertahankan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
b Meningkatkan suplementasi oksigen
c. Memasang jalur intravena (kateter yang besar) untuk pengaturan produksi cairan kristaloid


d. Monitor secara berulang-ulang :
1. Status hemodinamika
2. Perdarahan vagina terdiri atas : warna dan jumlah
3. Nyeri abdomen atau kontraksi uterus
4. Tinggi fundus (dapat meningkat karena perdarahan intrauterine)
5. Denyut jantung janin
e. Pertahankan pasien pada posisi dekubitus lateral kiri
f. Persiapan untuk bantuan dengan intervensi medis
g. Ultrasonogram panggul
h. Pemeriksaan imunoglobulin Rh pada wanita yang Rh-
i. Persiapan untuk seksio sesaria darurat atau vagina jika diindikasikan
j. Memberikan dukungan moril kepada pasien dan berpartisipasi dalam proses perawatannya
k. Meningkatkan dukungan nemosional pada pasien
l. Memberikan fasilitas , seperti penasehat spiritual, pekerja sosial
m. Merujuk bila hemodinamikanya stabil

4. Evaluasi
a. Volume cairan tubuh stabil
b. Perdarahan tertangani
c. Tidak terjadi kematian janin
d. Klien tidak terlalu cemas













DAFTAR PUSTAKA


Arif, Mansjoer (et al.). 2000. Kapita Selekta ed.3 Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius.

Purwadianto, Agus & Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta : Binarupa Aksara

http://www.siaksoft.net/index.php?option=com_content&task=view&id=2560&Itemid=102&limit=1&limitstart=4

http://library.usu.ac.id/download/fk/obstetri-tmhanafiah2.pdf

Jumat, 02 Oktober 2009

patofisiologi GGK

PATOFISIOLOGI



Penyebab gagal Ginjal Kronik


Perfusi darah ke gunjal terganggu


Jaringan parut


Fleksibilitas parenkim ginjal terganggu



Kerusakan < 75%


Nefron hipertropi


Pemenuhan filtrasi beban solut dan reabsorbsi


Keseimbangan cairan dan elektrolit terganggu
Kerusakan > 75%


Kedepatan reabsorbsi, filtrasi berlebihan


Nefron tidak dapat menkompensasi perubahan yang terjadi


Keseimbangan cairan dan elektrolit terganggu


Diuretik osmotik, rasa haus, oliguri dan peningkatan sisa metabolisme


Ketidakseimbangan kimia darah


Gangguan semua sistem tubuh