http//www.manahilkhair.com

special for AiLL My son n Muhar my wife

Jumat, 09 Oktober 2009

ASKEP PADA KLIEN TB PARU

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TB PARU & HEMAPTOE
Pangertian
Penyakit infeksi kronis dengan karakteristik terbentuknya tuberkel granuloma pada paru.

Etiologi
Mycobacterium tuberkulosis (Amin, M.,1999).

Faktor Resiko
 Rasial/Etnik group : Penduduk asli Amerika, Eskimo, Negro, Imigran dari Asia Tenggara.
 Klien dengan ketergantuangan alkhohol dan kimia lain yang menimbulkan penurunan status kesehatan.
 Bayi dan anak di bawah 5 tahun.
 Klien dengan penurunan imunitas : HIV positip, terapi steroid & kemoterapi kanker.

Gejala Klinis
1. Demam (subfebris, kadang-kadang 40 - 41 C, seperti demam influensa.
2. Batuk (kering, produktif, kadang-kadang hemoptoe (pecahnya pembuluh darah).
3. Sesak napas, jika infiltrasi sudah setengah bagian paru.
4. Nyeri dada, jika infiltrasi sudah ke pleura.
5. Malaise , anoreksia, badan kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.

Pengkajian (Doegoes, 1999)
1. Aktivitas /Istirahat
- Kelemahan umum dan kelelahan.
- Napas pendek dgn. Pengerahan tenaga.
- Sulit tidur dgn. Demam/kerungat malam.
- Mimpi buruk.
- Takikardia, takipnea/dispnea.
- Kelemahan otot, nyeri dan kaku.
2. Integritas Ego :
- Perasaan tak berdaya/putus asa.
- Faktor stress : baru/lama.
- Perasaan butuh pertolongan
- Denial.
- Cemas, iritable.

3. Makanan/Cairan :
- Kehilangan napsu makan.
- Ketidaksanggupan mencerna.
- Kehilangan BB.
- Turgor kulit buruk, kering, kelemahan otot, lemak subkutan tipis.
4. Nyaman/nyeri :
- Nyeri dada saat batuk.
- Memegang area yang sakit.
- Perilaku distraksi.
5. Pernapasan :
- Batuk (produktif/non produktif)
- Napas pendek.
- Riwayat tuberkulosis
- Peningkatan jumlah pernapasan.
- Gerakan pernapasan asimetri.
- Perkusi : Dullness, penurunan fremitus pleura terisi cairan).
- Suara napas : Ronkhi
- Spuntum : hijau/purulen, kekuningan, pink.
6. Kemanan/Keselamatan :
- Adanya kondisi imunosupresi : kanker, AIDS, HIV positip.
- Demam pada kondisi akut.
7. Interaksi Sosial :
- Perasaan terisolasi/ditolak.

Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
3. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, penurunan geraan silia, stasis dari sekresi.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, terapi dan pencegahan berhubungan dengan infornmasi kurang / tidak akurat.

Intervensi
Diagnosa Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
Tujuan : Kebersihan jalan napas efektif.
Kriteria hasil :
 Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
 Mendemontrasikan batuk efektif.
 Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.

Rencana Tindakan :
1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
3. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
4. Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
5. Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
6. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
7. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.
8. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
9. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian expectoran.
Pemberian antibiotika.
Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Diagnosa Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
Tujuan : Pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil :
 Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.
 Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
 Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.

Rencana tindakan :
1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2. Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
6. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian antibiotika.
Pemeriksaan sputum dan kultur sputum.
Konsul photo toraks.
R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Diagnosa Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
Tujuan : Kebutuhan nutrisi adekuat
Kriteria hasil :
 Menyebutkan makanan mana yang tinggi protein dan kalori
 Menu makanan yang disajikan habis
 Peningkatan berat badan tanpa peningkatan edema

Rencana tindakan
1. Diskusikan penyebab anoreksia, dispnea dan mual.
R/ Dengan membantu klien memahami kondisi dapat menurunkan ansietas dan dapat membantu memperbaiki kepatuhan teraupetik.


2. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan.
R/ Keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan.
3. Tawarkan makan sedikit tapi sering (enam kali sehari plus tambahan).
R/ Peningkatan tekanan intra abdomen dapat menurunkan/menekan saluran GI dan menurunkan kapasitas.
4. Pembatasan cairan pada makanan dan menghindari cairan 1 jam sebelum dan sesudah makan.
R/ cairan dapat lebih pada lambung, menurunkan napsu makan dan masukan.
5. Atur makanan dengan protein/kalori tinggi yang disajikan pada waktu klien merasa paling suka untuk memakannya.
R/ Ini meningkatkan kemungkinan klien mengkonsumsi jumlah protein dan kalori adekuat.
6. Jelaskan kebutuhan peningkatan masukan makanan tinggi elemen berikut
a. Vitamin B12 (telur, daging ayam, kerang).
b. Asam folat (sayur berdaun hijau, kacang-kacangan, daging).
c. Thiamine (kacang-kacang, buncis, oranges).
d. Zat besi (jeroan, buah yang dikeringkan, sayuran hijau, kacang segar).
R/ Masukan vitamin harus ditingkatkan untuk mengkompensasi penurunan metabolisme dan penyimpanan vitamin karena kerusakan jarinagn hepar.
7. Konsul dengan dokter/shli gizi bila klien tidak mengkonsumsi nutrien yang cukup.
R/ Kemungkinan diperlukan suplemen tinggi protein, nutrisi parenteral,total, atau makanan per sonde.
Daftar Pustaka

Amin, M., (1999). Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :Airlangga Univerciti Press
Carpenito, L.J., (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta : EGC
(2000). Diagnosa Keperawatan. Ed. 8. Jakarta : EGC
Doengoes, (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGc

Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius.

Rabu, 07 Oktober 2009

Askep PPOM

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

1. Pengertian
a. PPOK Merujuk pada sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar Paru. Gangguan yang penting adalah Bronkhitis Obstrukqtif, Emphysema dan Asthma Bronkiale. (Black. J. M. & Matassarin,.E. J. 1993).

b. Suatu kondisi dimana aliran udara pada paru tersumbat secara terus menerus. Proses penyakit ini adalah seringkali kombinasi dari 2 atau 3 kondisi berikut ini (Bronkhitis Obstruktif Kronis, Emphysema dan Asthma Bronkiale) dengan suatu penyebab primer dan yang lain adalah komplikasi dari penyakit primer.(Enggram, B. 1996).

Bronkhitis Kronis
Gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan termanifestasikan dalam bentuk batuk kronis dan pembentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, paling sedikit 2 tahun berturut – turut.

Emphysema
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar

Asthma Bronkiale
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trachea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh peyempitan yang menyeluruh dari saluran nafas.

Asthma dibedakan menjadi 2 :
1. Asthma Bronkiale Alergenik
2. Asthma Bronkiale Non Alergenik

Asthma tidak dibahas disini karena gejala dan tanda lebih spesifik dan ada pembahasan khusus mengenai penyakit asma



Penyebab PPOK
a. Bronkitis Kronis
1) Faktor tak diketahui
2) Merokok
3) Polusi Udara
4) Iklim

b. Emphysema
1) Faktor tak diketahui
2) Predisposisi genetic
3) Merokok
4) Polusi udara

c. Asthma Bronkiale
Faktor Prediasposisi nya adalah :
1. Alergen (debu, bulu binatang, kulit dll)
2. Infeksi saluran nafas
3. Stress
4. Olahraga (kegiatan jasmani berat )
5. obat-obatan
6. Polusi udara
7. lingkungan kerja
8. Lain-lain, (iklim, bumbu masak, bahan pengawet dll)

3. Gambaran Klinis
a. Asthma Bronkiale
Selama serangan klien mengalami dispnea dan tanda kesulitan bernafas. Permulaan tanda serangan terdapat sensasi kontriksi dada (dada terasa berat), Whezing, batuk non produktif, takhi kardi dan takipnea.

b. Manifestasi klinis Emphysema dan bronkhitis kronis
GAMBARAN EMPHYSEMA BRONKHITIS
Mulai timbul Usia 30 – 40 tahun 20 – 30 tahun batuk akibat merokok (cacat pada usia pertengahan)
Sputum Minimal Banyak sekali
Dispne Dispnea relatif dini Lambat
Rasio V/Q Ketidakseimbangan minimal Ketidakseimbangan nyata
Bnetuk Tubuh Kurus dan ramping Gizi cukup
Diameter AP dada Dada seperti tong Tidak membesar
Gambaran respirasi Hyperventilasi Hypoventilasi
Volume Paru FEV 1 rendah
TLC dan RV meningkat FEV 1 rendah
TLC normal RV meningkat moderat
Pa O2
Sa O 2 Norml/rendah
normal Meningkat
Desaturasi
Polisitemia normal Hb dan Hematokrit meningkat
Sianosis Jarang Sering

MANAGEMEN MEDIS
Intervensi medis bertujuan untuk :
1) Memelihara kepatenan jalan nafas dengan menurunkan spasme bronkus dan membersihkan secret yang berlebihan
2) Memelihara keefektifan pertukaran gas
3) Mencegah dan mengobati infeksi saluran pernafasan
4) Meningkatkan toleransi latihan.
5) Mencegah adanya komplikasi (gagal nafas akut dan status asmatikus)
6) Mencegah allergen/iritasi jalan nafas
7) Membebaskan adanya ansietas dan mengobati depresi yang sering menyertai adanya obstruksi jalan nafas kronis.

Managemen medis yang diberikan berupa
1) Pharmacologic management
a) Anti inflamasi ( kortikosteroid, sodium kromolin dll)
b) Bronkodilator
Adrenergik : efedrin, epineprin, beta adrenergik agonis selektif
Non adrenergik : aminophilin, tefilin
c) Antihistamin
d) Steroid
e) Antibiotic
f) Ekspektoran
Oksigen digunakan 3 l/m dengan cannula nasal.
2) Hygiene Paru.
Bertujuan untuk membersihkan sekret dari paru-paru dan kemudian meningkatkan kerja silia dan menurunkan resiko infeksi.
Dilaksanakan dengan nebulizer, fisioterapi dada, postural drainase
3) Exercise
Bertujuan untuk mempertinggi kebugaran dan melatih fungsi otot skeletal agar lebih efektif.
Dilaksanakan dengan jalan sehat.
4) Menghindari bahan iritans
Penyebab iritans jalan nafas harus dihindari seperti asap rokok dan perlu juga mencegah adanya alergen yang masuk tubuh.
5) Diet
Klien sering mengalami kesulitan makan karena adanya dipsnea. Pemberian porsi yang kecil namun sering lebih baik daripada makan langsung banyak.

MANAGEMENT KEPERAWATAN
Pengkajian :
1. Riwayat atau faktor penunjang :
- Merokok merupakan faktor penyebab utama.
- Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
- Riwayat alergi pada keluarga
- Riwayat Asthma pada anak-anak.

2. Riwayat atau adanya faktor pencetus eksaserbasi :
- Alergen.
- Stress emosional.
- Aktivitas fisik yang berlebihan.
- Polusi udara.
- Infeksi saluran nafas.

3. Pemeriksaan fisik :
a. Manifestasi klinik Penyakit Paru Obstruktif Kronik :
• Peningkatan dispnea.
• Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot abdominal, mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping hidung).
• Penurunan bunyi nafas.
• Takipnea.
b. Gejala yang menetap pada penyakit dasar
 Asthma
 Batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan perasaan dada seperti terikat.
 Mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat terdengar tanpa stetoskop.
 Pernafasan cuping hidung.
 Ketakutan dan diaforesis.

 Bronkhitis
 Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang biasanya terjadi pada pagi hari.
 Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing.
 Sesak nafas

 Bronkhitis (tahap lanjut)
 Penampilan sianosis
 Pembengkakan umum atau “blue bloaters” (disebabkan oleh edema asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmunal).

 Emphysema
 Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter thoraks anterior posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru).
 Fase ekspirasi memanjang.

 Emphysema (tahap lanjut)
 Hipoksemia dan hiperkapnia.
 Penampilan sebagai “pink puffers”
 Jari-jari tabuh.

4. Pemeriksaan diagnostik
 Test faal paru
1) Kapasitas inspirasi menurun
2) Volume residu : meningkat pada emphysema, bronkhitis dan asthma
3) FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif Penyakit Paru Obstruktif Kronik
4) FVC awal normal  menurun pada bronchitis dan astma.
5) TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada emphysema).

 Transfer gas (kapasitas difusi).
Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik Transfer gas relatif baik.
Pada emphysema : area permukaan gas menurun.

Transfer gas (kapasitas difusi).menurun

 Darah :
Hb dan Hematokrit meningkat pada polisitemia sekunder.
Jumlah darah merah meningkat
Eo dan total IgE serum meningkat.
Analisa Gas Darah  gagal nafas kronis.
Pulse oksimetri ® SaO2 oksigenasi menurun.
Elektrolit menurun oleh karena pemakaian deuritika pada cor pulmunale.

 Analisa Gas Darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada astma. PH normal asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.

 Sputum :
Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran.
Kuman patogen >> :
Streptococcus pneumoniae.
Hemophylus influenzae.
Moraxella catarrhalis.

 Radiologi :
Thorax foto (AP dan lateral).
Hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan area paru-paru.

Pada emphysema paru :
 Distensi >
 Diafragma letak rendah dan mendatar.
 Ruang udara retrosternal > (foto lateral).
 Jantung tampak memanjang dan menyempit.
 Bronkogram : menunjukkan dilatasi bronkus, kolap bronkhiale pada ekspirasi kuat.

 EKG.
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat Kor Pulmonal terdapat deviasi aksis ke kanan dan P- pulmonal pada hantaran II, III dan aVF. Voltase QRS rendah. Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 V1 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.

5. Lain-lain perlu dikaji Berat badan, rata-rata intake cairan dan diet harian.

Aktivitas dan Istirahat
Gejala Keletihan, kelelahan, malaise
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas. Perlu tidur dalam posisi duduk cukup tingi. Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan
Tanda Kelelahan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan masa otot
Sirkulasi
Gejala Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda Peningkatan tekanan darah. Peningkatan frekuensi jantung
Distensi vena leher, sianosis perifer
Integritas ego
Gejala/tanda Ansietas, ketakutan dan peka rangsang
Makanan/cairan
Gejala Mual/muntah, Nafsu makan menurun, ketidakmampuan makan karena distress pernafasan
Penurunanan BB menetap (empisema) dan peningkatan BB karena edema (Bronkitis)
Tanda Turgor kulit buruk, edema, berkeringat, penurunan BB, penurunan massa otot
Hygiene
Gejala Penurunan Kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas tubuh
Tanda Kebersihan buruk, bau badan
Pernafasan
Gejala Nafas pendek, khususnya pada saat kerja, cuaca atau episode serangan asthma, rasa dada tertekan/ketidakmampuan untuk bernafas. Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari selama 3 bulan berturut-turut selam 3 tahun sedikitnya 2 tahun. Sputum hijau, putih, kuning dengan jumlah banyak (bronchitis)
Episode batuk hilang timbul dan tidak produktif (empisema),
Riwayat Pneumonia, riwayat keluarga defisiensi alfa antitrypsin
Tanda Respirasi cepat dangkal, biasa melambat, fas ekspirasi memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (empisema)
Pengguanaan otot Bantu pernafasan, Dada barell chest, gerakan diafragma minimal. Bunyi nafas, Ronki, wheezing, redup
Perkusi hypersonor pada area paru (udara terjebak, dan dapat juga redup/pekak karena adanya cairan).
Kesulitan bicara 94 – 5 kalimat 0
Sianosis bibir dan dasar kuku, jari tabuh.
Seksualitas Libido menurun
Interaksi sosial
Gejala Hubungan ketergantungan, kurang sisitem pendukung
tanda Keterbatasan mobilitas fisik
Kelalaian hubungan antar keluarga

Diagnosa keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan pembatasan jalan nafas, kelelahan otot pernafasan, peningkatan produksi mukus atau spasme bronkus.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan batuk, peningkatan produksi mukus/peningkatan sekresi lendir
3. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder terhadap peningkatan kerja pernafasan atau kesulitan masukan oral sekunder dari anoreksia.
4. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adequatnya immunitas tubuh
6. Kurang pengetahuan berhu bungan dengankurang informasi

Perencanaan
Perencanaan meliputi penyusunan prioritas, tujuan dan kriteria hasil dari masing-masing masalah yang ditemukan.

Tujuan Penatalaksanaan
• Mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
• Pemeliharaan fungsi paru yang optimal dalam waktu singkat dan panjang.
• Pencegahan dan penanganan eksaserbasi.
• Mengurangi perburukan fungsi paru setiap tahunnya.

Kriteria Keberhasilan :
• Berkurangnya gejala sesak nafas.
• Berkurangnya frekuensi dan lamanya eksaserbasi.
• Membaiknya faal paru.
• Menurunnya gejala psikologik (depresi, kecemasan).
• Memperbaiki kualitas hidup.
• Dapat melakukan aktifitas sehari-hari.

ASKEP GASTRO ENTERITIS

BAB I
PENDAHULUAN

Kedaruratan medic dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok manusia pada suatu saat dan dimana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit dimana saja secara mendadak, kecelakaan ataupun bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya di rumah sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah atau membatasi kecatatan serta meringankan penderitaan dari penderita.

Selain pertolongan, keadaan ini juga membutuhkan pengetahan dan keterampilan yang baik dari penolong. Oleh karena itu, sebagai seorang tenaga kesehatan kita dituntu untuk terampil dalam menangani segala hal yang berhubungan dengan hal-hal yang mengancam kehidupan manusia.

Makalah ini akan membahas tentang penanggulangan gawat darurat pada pasien gastroenteritis. Kasus ini cukup banyak ditemui di rumah sakit bahkan di temui dalam lingkungan kita sehari-hari. Oleh karena itu, sebagai penulis kami berharap makalah ini dapat berguna sebagai penuntun dalam menghadapi kasus seperti ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna bagi kita semua dan dapat menambah ilmu pengetahuan kita. Kami juga akan sangat berterima kasih jika teman-teman memberikan saran dan kritik buat kesempurnaam makalah ini sehingga ilmu dan keterampilan kita.










BAB II
KONSEP MEDIS

II.1 Pengertian
Adalah radang pada lambung dan usus yang memberikan gejala diare, dengan atau tanpa disertai muntah, dan sering kali disertai peningkatan suhu tubuh. Diare yang dimaksudkan adalah buang air besar berkali-kali (dengan jumlah yang melebihi 4 kali, dan bentuk Faeses yang cair, dapat disertai dengan darah atau lendir).

II.2 Etiologi
1. Makanan dan Minuman
a. kekurangan zat gizi; kelaparan (perut kosong) apalagi bila perut kosong dalam waktu yang cukup lama, kemudian diisi dengan makanan dan minuman dalam jumlah banyak pada waktu yang bersamaan, terutama makanan yang berlemak, terlalu manis, banyak serat atau dapat juga karena kekurangan zat putih telur.
b. Tidak tahan terhadap makanan tertentu (Protein, Hidrat Arang, Lemak) yang dapat menimbulkan alergi.
c. Keracunan makanan
2. Infeksi atau Investasi Parasit
Bakteri, virus, dan parasit yang sering ditemukan:
a. Vibrio Cholerae, E. coli, Salmonella, Shigella, Compylobacter, Aeromonas.
b. Enterovirus (Echo, Coxsakie, Poliomyelitis), Adenovius, Rotavirus, Astovirus.
c. Beberapa cacing antara lain: Ascaris, Trichurius, Oxyuris, Strongyloides, Protozoa seperti Entamoeba Histolytica, Giardia lamblia, Tricomonas Hominis.
3. Jamur (Candida Albicans)
4. Infeksi diluar saluran pencernaan yang dapat menyebabkan Gastroenteritis adalah Encephalitis (radang otak), OMA (Ortitis Media Akut 􀃆 radang dikuping), Tonsilofaringitis (radang pada leher 􀃆 tonsil), Bronchopeneumonia (radang paru).
5. Perubahan udara
Perubahan udara sering menyebabkan seseorang merasakan tidak enak dibagian perut, kembung, diare dan mengakibatkan rasa lemas, oleh karena cairan tubuh yang terkuras habis.
6. Faktor Lingkungan
Kebersihan lingkungan tidak dapat diabaikan. Pada musim penghujan, dimana air membawa sampah dan kotoran lainnya, dan juga pada waktu kemarau dimana lalat tidak dapat dihindari apalagi disertai tiupan angin yang cukup besar, sehingga penularan lebih mudah terjadi. Persediaan air bersih kurang sehingga terpaksa menggunakan air seadanya, dan terkadang lupa cuci tangan sebelum dan sesudah makan.

II.3 Patofisiologi
Penularan gastroenteritis biasa melalui fekal oral dari satu penderita ke yang lainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen dikarenakan makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolt ke dalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan seksresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan multilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri itu adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (Asidosis Metbolik dan Hipokalemi), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi darah.

II.4 Gejala Klinik
Pasien dengan diare akibat infeksi sering mengalami nausea, muntah, nyeri perut sampai kejang perut, demam dan diare terjadi renjatan hipovolemik harus dihindari kekurangan cairan menyebabkan pasien akan merasa haus, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun, serta suara menjadi serak, gangguan biokimiawi seperti asidosis metabolik akan menyebabkan frekuensi pernafasan lebih cepat dan dalam (pernafasan kusmaul). Bila terjadi renjatan hipovolemik berat maka denyut nadi cepat (lebih dari 120 kali/menit) tekanan darah menurun tak terukur, pasien gelisah, muka pucat, ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis, kekurangan kalium dapat menimbulkan aritmia jantung. Perfusi ginjal dapat menurun sehingga timbul anuria, sehingga bila kekurangan cairan tak segera diatasi dapat timbul penulit berupa nekrosis tubular akut.
Secara klinis dianggap diare karena infeksi akut dibagi menjadi dua golongan pertama, kolerifrom, dengan diare yang terutama terdiri atas cairan saja. Kedua disentriform, pada saat diare didapatkan lendir kental dan kadang-kadang darah.





















BAB III
ASKEP KEGAWATDARURATAN

1. Pengkajian
Selalu menggunakan pendekatan ABCDE.
Airway
a. Pastikan kepatenan jalan napas
b. Siapkan alat bantu untuk menolong jalan napas jika perlu
c. Jika terjadi perburukan jalan napas segera hubungi ahli anestesi dan bawa ke ICU
Breathing
a. Kaji respiratory rate
b. Kaji saturasi oksigen
c. Berikan oksigen jika ada hypoksia untuk mempertahankan saturasi > 92%
d. Auskultasi dada
e. Lakukan pemeriksaan rontgent
Circulation
a. Kaji denyut jantung
b. Monitor tekanan darah
c. Kaji lama pengisian kapiller
d. Pasang infuse, berikan ciaran jika pasien dehidrasi
e. Periksakan dara lengkap, urin dan elektrolit
f. Catat temperature
g. Lakukan kultur jika pyreksia
h. Lakukan monitoring ketat
i. Berikan cairan per oral
j. Jika ada mual dan muntah, berikan antiemetik IV.

Disability
a. Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU
Exposure
a. Kaji riwayat sedetil mungkin
b. Kaji makanan dan minuman yang dikonsumsi sebelumnya
c. Kaji tentang waktu sampai adanya gejala
d. Kaji apakah ada anggota keluarga atau teman yang terkena
e. Apakah sebelumnya baru mengadakan perjalanan?
f. Lakukan pemeriksaan abdomen
g. Lakukan pemeriksaan roentgen abdominal
h. Ambil samper feses untuk pemeriksan mikroskopi, kultur dan sensitivitas
i. Berikan anti diare seperi codein atau loperamide sampai hasil kultur diketahui
j. Jangan dulu berikan antibiotic sampai dengan hasil kultur diketahui
k. Laporkan jika mengalami keracunanan makanan

2. Penatalaksanan
Untuk penatalaksanaan dibedakan atas kasus dewasa dan anak-anak
a. Untuk dewasa
Gejala dan tanda :
Secara klinis dibedakan dalam dua bentuk :
Gastroenteritis Choleriform
Penyebabnya antara lain : ialah Vibrio Parachemolitica,Vibrio Eltor, E. Coli, Clastridia, keracunan makanan. Bentuk ini trersering menyebabkan dehidrasi. Gejala utamanya diare dan muntah. Diare yang terjadi tanpa mules tanpa tenesmus dan tidak mual. Bentuk tinja seperti air cucian beras.
Gastroenteritis disentriform
Penyebabnya antara lain ialah Entamoeba Histolitica, Shigella, Salmonella. Bentuk ini jarang mengakibatkan dehidrasi. Gejala yang timbul ialah kolik, diare, tenesmus, kotoran mengandung darah dan lender yang semuanya disebut sindrom disentri.
Penatalaksanaan :
Prinsip penatalaksanaannya adalah :
Menggantikan cairan yang hilang dan mengatasi syok
Mengganti elektrolit yang hilang
Mengenal dan mengatasi komplikasi yang terjadi
Memberantas penyebabnya
Urutan tindakan ialah :
Menentukan nilai untuk menghitung jumlah cairan yang dibutuhkan.
Pedoman menentukan nilai untuk menhitung jumlah cairan yang dibutuhkan pada penanggulangan kasus Gastroenteritis
Gejala Nilai
1. Muntah
2. Apatis
3. Somnolent, sophorous
4. TDS < 90 mmHg
5. TDS < 60 mmHg
6. Nadi > 120/menit
7. Pernapasan > 30/menit
8. Turgor menurun
9. Ekstremitas dingin
10. Washer woman’s hand
11. Vox cholerica
12. Facies cholerica
13. Sianosis
14. Umur antara 50-60 tahun
15. Umur > 60 thun
16. Underweight 1
1
2
1
2
1
1
1
1
1
2
2
2
-1
-2
-1

Pemberian cairan dan elektrolit.
Cairan diberikan sebanyak :
Nilai
------- X berat badan x 0,1 x 1 liter
15
Yang diberikan dalam waktu 2 jam. Dua jam berikutnya diberikan cairan sebanyak pengeluaran cairan 2 jam pertama, demikian selanjutnya tiap 2 jam dihitung cairan yang keluar.
Cara pemberian cairan adalah :
Per Oral
Diberikan bila nilai kurang dari 3. Untuk menghindari muntah, maka kadar kalium harus rendah, misalnya dengan menggunakan Cairan COS (Cholera Oral Solution)
Per Infus (I.V.F.D.)
Dapat diberikan bersamaan dengan cairan per oral sehingga mengurangi kebutuhan cairan per infuse. Bila terjadi syok atau penurunan kesadaran, cairan per oral tidak diberikan. Cairan per infuse yang digunakan adalah Ringer Laktat atau Larutan NaCl 0,9% : Na Bikarbonat 1,5% = 2 : 1, ditambah dengan pulvus KCl 3x1 gram secara oral. Bila terjadi Oliguri atau anuri, pemberian Kalium harus hati-hati.
Terapi Kausal
Pada gastroenteritis choleriform, diberi tetrasiklin dan pada gastroenteritis disentriform diberikan metronidazole, Tinidazole, Emetine Bismuth Iodide, Tetrasiklin serta ampicilin.


b. Untuk anak-anak
Gejala dan tanda :
Gejala utama ialah timbulnya diare, sedangkan gejala muntah terjadi sebelum atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai Nampak. Dehidrasi dibagi menurut banyaknya cairan yang hilang, menjadi :
Dehidrasi ringan, jika kehilangan cairan 0-5% atau rata-rata 25 ml/kg BB
Dehidrasi Sedang, jika kehilangan cairan 5-10% atau rata-rata 75 ml/kg BB
Dehidrasi berat, jiika kehilangan cairan 10-15% atau rata-rata125 ml/kg BB
Penatalaksanaan
Mengatasi Dehidrasi
dehidrasi ringan dan sedang
Diberi garam oralit 2-5 gelas/hari selama 2-3 hari. ASI tetap diberikan. Sebaiknya penberian oralit dengan sendok, tidak dengan botol, sebab dot pada botol dapat merangsang tenggorok sehingga menimbulkan muntah. Adanya muntah tidak merupakan kontra indikasi bagi pemberian oralit; dalam keadaan ini, pemberian sedikit-sedikittapi sering dan bila muntah tidak dapat diatasi diberikan obat anti muntah. Secara sederhana dan praktis, garam oralit dapat dibuat dengan cara: ke dalam 1 L air steril dicampurkan ½ sendok the peres NaCl, ¼ sendok the peres Natrium bikarbonat dan 2 sendok makan sendok peres glukosa
Dehidrasi Berat
Penderita dirawat di rumah sakit dan diberikan cairan intravena.
 Neonatus
Cairan yang diberikan adalah 4 : 1 (cairan glukosa 5-10% : Natrium Bikarbonat = 4 : 1). Jumlah kebutuhan cairan dalam 24 jam adalah 250 x BB (dalam CC), 4 jam pertama diberikan ¼ bagian dengan jumlah tetesan X/48 tetes/menit, 20 jam brikutnya, sisa cairan dibagi rata dengan jumlah tetesan X/80 tetes/menit
 Bayi (bukan neonatus)
Empat jam pertama diberikan cairan dengan jumlah tetesan 6 x BB/tetes/menit. Empat jam kedua diberikan cairan 3A dengan tetesan 3 x BB/tetes/menit. Enam belas jam berikutnya, diberikan cairan DG (Darrow Glucose) dengan jumlah tetesan 3 X BB/tetes/menit.
 Neonatus BBLR
Cairan yang diberikan adalah cairan 4 : 1. Jumlah kebutuhan cairan dalam 24 jam ialah 250 x BB (dalam CC).

Pada dehidrasi berulang yaitu bila anak sudah refeeding jatuh dalam dehidrasi kembali, maka pada dehidrasi ringan dan sedang diusahakan memperbanyak intake dengan G.O.S. , sedangkan pada dehidrasi berat maka mulai lagi seperti prinsip di atas. Pada dugaan kolera (dengan gejala buang air besar seperti air cucian beras, pre syok atau syok) diberikan cairan Ringer Laktat pada 1 jam pertama jumlah tetesan adalah 10 x BB/tetes/menit dan 7 jam berikutnya adalah 3 x BB/tetes/menit. Bila setelah 1 jam sudah teratasi, teruskan sampai 1 jam. Bila setelah 1 jam belum teratasi, teruskan sampai teratasi.

Antibiotika
Bila penyebab panas belum dibuktikan/ditemukan, maka pemberian antibiotika adalah sebagai berikut:
Diberikan di atas umur Neonatus
Suhu sampai 38,50c : tidak diberikan antibiotika
38,50C-39,50C : Prokain-penisilin 50.000 U/kgBB/hari
39,5-400C :Prokain-penisilin dan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Lebih dari 400 C : Ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis dan gentamisin 5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Neonatus/BBLR: pemberian antibitika harus agresif diberi ampisilin dan gentamisin

Koreksi asidosis metaboliks
Koreksi sidosis dilakukan bila terdapat gejala pernapasan kusmaul atau secara pasti ditentukan dengan astrup yaitu kadar HCO3- kurang dari 18 mEq/L. Pemberian Na¬ –bikarbonat adalah 0,3 x BB x base excess mEq/L yang diberikan separuh dahulu sedangkan sisanya diberikan kemudian bila masih diperlukan.
Perhitungan pemberian larutan Na-bikarbonat:
Misalnya larutan Na-bikarbonat yang digunakan adalah 7% (Meylon®), maka jumlah pemberian adalah
0,3 x BB x BE x 8,4/7
2
Untuk larutan Na-bikarbonat 8,4% 1 ml = 1 mEq

Koreksi Elektrolit
Biasanya sudah teratasi dengan pemberian cairan 3A dan Darrow Glucose. Namun demikian, bila terjadi Hipokalemi (dengan gejala kembung) dapat diberikan 2-4 mEq/kg BB/24 jam atau diberi KCl per oral 75 mg/kgBB/hari. Bila timbul kembung, anamnesa harus teliti, sebab kembung yang terjadi sebelum diare dicurigai adanya gejala-gejala ileus paralitik, ileus obstruksi atau invaginasi.

Penyulit-penyulit yang mungkin terjadi: kejang, sepsis, bronkopneumonia, encephalitis.





BAB IV
PENUTUP

IV.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang kami ambil dari makalah ini yaitu :
1. Gastrointestinal dalah radang pada lambung dan usus yang memberikan gejala diare, dengan atau tanpa disertai muntah, dan sering kali disertai peningkatan suhu tubuh.
2. pebabnya adalah : Makanan dan Minuman,infeksi atau Investasi Parasit , jamur (Candida Albicans) ,Infeksi diluar saluran pencernaan , .Perubahan udara , Faktor Lingkungan
3 patofisiologinya : gangguan osmotik , gangguan seksresi, Gangguan motilitas usus
4. pengkajian meliputi ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, and Exposure).
5. prinsip penatalaksanaannya adalah :
Menggantikan cairan yang hilang dan mengatasi syok
Mengganti elektrolit yang hilang
Mengenal dan mengatasi komplikasi yang terjadi
Memberantas penyebabnya

IV.2. Saran
Sebaiknya tugas ini diberikan sejak pertemuan awal supaya mahasiswa dapat mempersiapkan dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA
http://nursingspirit.blogspot.com/html. 25 juni 2008. asuhan keperawatan gawat darurat pada gastroenteritis.
http://askep.blogspot.com/html. 08 januari 2008. Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Gastroenteritis.
Sampurna,Budi. 2000. Kedaruratan Medik. Binarupa aksara : Grogol, Jakarta Barat.
Rab, Tabrani. 1998. Critical Care. P.T Alumni: Bandung
Harnawatiaj. 09 Maret 2008. http://Harna’sblog.com/html. Gastroenteritis.

PLACENTA PREVIA

1. Pengertian
Plasenta Previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir”.
( Mansjoer Arif, et al. 2000 : 276)
2. Etiologi
Mengapa plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus tidak selalu dapat diterangkan, bahwasanya vaskularisasi yang berkurang atau perubahan atrofi pada dosidua akibat persalinan yang lampau dan dapat menyebabkan plasenta previa tidak selalu benar, karena tidak nyata dengan jelas bahwa plasenta previa didapati untuk sebagian besar pada penderita dengan paritas fungsi, memang dapat dimengerti bahwa apabila aliran darah ke plasenta tidak cukup atau diperlukan lebih banyak seperti pada kehamilan kembar. Plasenta yang letaknya normal sekalipun akan meluaskan permukaannya, sehingga mendekati atau menutupi sama sekali pembukaan jalan lahir.
3. Klasifikasi
a. Plasenta Previa Totalis, apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.
b. Plasenta Previa Parsialis, apabila sebahagian pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.
c. Plasenta Previa Marginalis, apabila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan.
d. Plasenta Letak Rendah, plasenta yang letaknya abnormal pada segmen bawah uterus tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir.

4. Anatomi Fisiologi
Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15-20 cm dan tebal 2,5 cm, berat rata-rata 500 gram. Tali pusat berhubungan dengan plasenta biasanya di tengah (insersio sentralis). Bila hubungan agak pinggir (insersio lateralis). Dan bila di pinggir plasenta (insersio marginalis), kadang-kadang tali pusat berada di luar plasenta dan hubungan dengan plasenta melalui janin, jika demikian disebut (insersio velmentosa).
Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 10 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uterus, agak ke atas ke arah fundus uteri. Meskipun ruang amnion membesar sehingga amnion tertekan ke arah korion, amnion hanya menempel saja.
Pada umumnya di depan atau di belakang dinding uterus agak ke atas ke arah fundus uteri, plasenta sebenarnya berasal dari sebagian dari janin, di tempat-tempat tertentu pada implantasi plasenta terdapat vena-vena yang lebar (sinus) untuk menampung darah kembali pada pinggir plasenta di beberapa tempat terdapat suatu ruang vena untuk menampung darah yang berasal ruang interviller di atas (marginalis).
Fungsi plasenta ialah mengusahakan janin tumbuh dengan baik untuk pertumbuhan adanya zat penyalur, asam amino, vitamin dan mineral dari ibu kejanin dan pembuangan CO2.
Fungsi Plasenta :
a. Sebagai alat yang memberi makanan pada janin.
b. Sebagai alat yang mengeluarkan bekas metabolisme.
c. Sebagai alat yang memberi zat asam dan mengeluarkan CO2.
d. Sebagai alat pembentuk hormone.
e. Sebagai alat penyalur perbagai antibody ke janin.
f. Mungkin hal-hal yang belum ketahui.
5. Patofisiologi
Pendarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak kehamilan 10 minggu saat segmen bawah uterus membentuk dari mulai melebar serta menipis, umumnya terjadi pada trismester ketiga karena segmen bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan servik menyebabkan sinus uterus robek karena lepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Pendarahan tidak dapat dihindarkan karena ketidak mampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi seperti pada plasenta letak normal.
6. Komplikasi
a. Pada ibu dapat terjadi perdarahan hingga syok akibat perdarahan, anemia karena perdarahan plasentitis, dan endometritis pasca persalinan.
b. Pada janin biasanya terjadi persalinan premature dan komplikasi seperti Asfiksi berat.
c. Laserasi serviks
d. Plasenta akreta
e. Prolaps tali pusat dan prolaps plasenta. ( TM Hanafiah)
7. Gambaran Kinik
Pendarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama dari plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi selagi penderita tidur atau bekerja biasa, perdarahan pertama biasanya tidak banyak, sehingga tidak akan berakibat fatal. Perdarahan berikutnya hampir selalu banyak dari pada sebelumnya, apalagi kalau sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan dalam. Sejak kehamilan 20 minggu segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat dari dinding uterus. Pada saat ini dimulai terjadi perdarahan darah berwarna merah segar.
Sumber perdarahan ialah sinus uterus yang terobek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus perdarahan tidak dapat dihindari karena ketidak mampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan, tidak sebagai serabut otot uterus untuk menghentikan perdarahan kala III dengan plasenta yang letaknya normal makin rendah letak plasenta makin dini perdarahan terjadi, oleh karena itu perdarahan pada plasenta previa totalis akan terjadi lebih dini dari pada plasenta letak rendah, yang mungkin baru berdarah setelah persalinan mulai.
8. Diagnosis
a. Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pada pemeriksaan hematokrit.


b. Pemeriksaan Luar
Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas panggul mengelak ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul.
c. Pemeriksaan In Spekulo
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari osteum uteri eksternum atau dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
d. Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung
Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotope, dan ultrasonagrafi. Ultrasonagrafi penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri.
e. Pemeriksaan Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5 cm disebut plasenta letak rendah.
f. Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif
Dilakukan dengan PDMO yaitu melakukan perabaan secara langsung melalui pembukaan serviks pada perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu dengan anemia berat, tidak dianjurkan melakukan PDMO sebagai upaya menetukan diagnosis.
9. Penatalaksanaan
a. Terapi Ekspektif
1) Tujuan supaya janin tidak terlahir premature, penderita dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam melalui kanalis servisis.
2) Syarat-syarat terapi ekspektif :
- Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.
- Belum ada tanda-tanda in partu.
- Keadaan umum ibu cukup baik.
- Janin masih hidup.
3) Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotik profilaksis.
4) Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta.
5) Berikan tokolitik bila ada kontraksi :
- MgS04 9 IV dosis awal tunggal dilanjutkan 4 gram setiap 6 jam.
- Nifedipin 3 x 20 mg perhari.
- Betamethason 24 mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru janin.
6) Uji pematangan paru janin dengan tes kocok dari hasil amniosentesis.
7) Bila setelah usia kehamilan diatas 34 minggu, plasenta masih berada disekitar ostium uteri interim.
8) Bila perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, pasien dapat dipulang untuk rawat jalan.
b. Terapi Aktif ( tindakan segera ).
1) Wanita hamil diatas 22 minggu dengan perdarahan pervagina yang aktif dan banyak, harus segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa memandang moturitus janin.
2) Lakukan PDMO jika :
a) Infus 1 transfusi telah terpasang.
b) Kehamilan > 37 minggu ( berat badan > 2500 gram ) dan inpartu.
c) Janin telah meninggal atau terdapat anomali kongenital mayor, seperti anesefali.
d) Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati pintu atas panggul ( 2/5 atau 3/5 pada palpasi luar ).
3) Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa seksio sesarea .
a) Prinsip utama adalah menyelamatkan ibu, walaupun janin meninggal atau tidak punya harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilakukan.
b) Tujuan seksio sesarea : persalinan dengan segera sehingga uterus segera berkontraksi dan menghentikan pendarahan, menghindarkan kemungkinan terjadi robekan pada serviks, jika janin dilahirkan pervagina.
c) Siapkan darah pengganti untuk stabiliasi dan pemulihan kondisi ibu.



4) Perawatan Post Operasi Seksio Sesarea.
1. Analgesia
Wanita dengan ukuran tubuh rata-rata dapat disuntik 75 mg Meperidin (intra muskuler) setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk mengatasi rasa sakit atau dapat disuntikan dengan cara serupa 10 mg morfin.
a) Wanita dengan ukuran tubuh kecil, dosis Meperidin yang diberikan adalah 50 mg.
b) Wanita dengan ukuran besar, dosis yang lebih tepat adalah 100 mg Meperidin.
c) Obat-obatan antiemetik, misalnya protasin 25 mg biasanya diberikan bersama-sama dengan pemberian preparat narkotik.
2. Tanda-tanda Vital
Tanda-tanda vital harus diperiksa 4 jam sekali, perhatikan tekanan darah, nadi jumlah urine serta jumlah darah yang hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.
3. Terapi cairan dan Diet
Untuk pedoman umum, pemberian 3 liter larutan RL, terbukti sudah cukup selama pembedahan dan dalam 24 jam pertama berikutnya, meskipun demikian, jika output urine jauh di bawah 30 ml / jam, pasien harus segera di evaluasi kembali paling lambat pada hari kedua.
4. Vesika Urinarius dan Usus
Kateter dapat dilepaskan setelah 12 jam, post operasi atau pada keesokan paginya setelah operasi. Biasanya bising usus belum terdengar pada hari pertama setelah pembedahan, pada hari kedua bising usus masih lemah, dan usus baru aktif kembali pada hari ketiga..
5. Ambulasi
Pada hari pertama setelah pembedahan, pasien dengan bantuan perawatan dapat bangun dari tempat tidur sebentar, sekurang-kurang 2 kali pada hari kedua pasien dapat berjalan dengan pertolongan.


6. Perawatan Luka
Luka insisi di inspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang alternatif ringan tanpa banyak plester sangat menguntungkan, secara normal jahitan kulit dapat diangkat setelah hari ke empat setelah pembedahan. Paling lambat hari ke tiga post partum, pasien dapat mandi tanpa membahayakan luka insisi.
7. Laboratorium
Secara rutin hematokrit diukur pada pagi setelah operasi hematokrit tersebut harus segera di cek kembali bila terdapat kehilangan darah yang tidak biasa atau keadaan lain yang menunjukkan hipovolemia.
8. Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa nyeri.
9. Memulangkan Pasien Dari Rumah Sakit
Seorang pasien yang baru melahirkan mungkin lebih aman bila diperbolehkan pulang dari rumah sakit pada hari ke empat dan ke lima post operasi, aktivitas ibu seminggunya harus dibatasi hanya untuk perawatan bayinya dengan bantuan orang lain.(Cunningham, 1995 : 529)











Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data subjektif
1. Asal mula timbulnya penyakit
a. Perdarahan : permulaan, durasi, jumlah, sifat
1) Plasenta previa : perdarahan vaginal tiba-tiba yang mungkin terjadi karena adanya perdarahan dalam
2) Abruptio placenta : perdarahan vagina yang menghasilkan warna merah tua; jumlahnya tidak tentu karena perdarahannya tersembunyi.
b. Nyeri : pada perut, panggul, dan/atau punggung
1) Plasenta previa : biasanya tidak ada/ terjadi
2) Abruptio placenta : sering terjadi
c. Usia kehamilan (LNMP, EDC)
d. Trauma yang baru terjadi
e. Hubungan seksual
f. Menurunnya pergerakan janin
2. Riwayat medis
a. Peningkatan usia ibu
b. Hipertensi
c. Multipara
d. Robeknya jaringan prematur
e. Awal terjadinya plasenta previa, abruptio placenta, caserean section terdahulu
f. Penggunaan obat illegal
g. Merokok
h. Rendahnya status sosial ekonomi
i. Trauma



b. Data objektif
1. Tes fisik
a. Survei umum
b. Tanda-tanda vital orthostatik
c. Latihan perut : sensitivitas terhadap sentuhan/tekanan, denyut uterus, kontraksi.
d. Latihan perineum : bukti dari perdarahan (speculum atau lattihan pelvic manual merupakan kontraindikasi pada perdarahan vagina trimester dua dan tiga sampai penentuan plasenta dan previa teratasi)
e. Auskultasi denyut jantung janin
2. Prosedur diagnosa
a. CBC
b. Profil koagulasi : PT, PTT, tingkat fibrinogen, hasil fibrin
c. Tipe dan cross-match : paling sedikit empat unit sel darah merah di perdarahan yang dialami oleh pasien
d. Tes Kleihaurer-Betke
e. Serum elektrolit
f. USG panggul
g. Pemantauan terhadap denyut jantung
2. Analisa perbedaan diagnosa perawat/kolaborasi kasus
a. Defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan
b.Gangguan perfusi jaringan ibu dan janin yang berhubungan dengan perdarahan
c. Ansietas berhubungan dengan proses pembedahan/permatur
d. Ancaman kematian berhubungan dengan potensi kegagalan persalinan
3. Rencana intervensi
a. Pertahankan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
b Meningkatkan suplementasi oksigen
c. Memasang jalur intravena (kateter yang besar) untuk pengaturan produksi cairan kristaloid


d. Monitor secara berulang-ulang :
1. Status hemodinamika
2. Perdarahan vagina terdiri atas : warna dan jumlah
3. Nyeri abdomen atau kontraksi uterus
4. Tinggi fundus (dapat meningkat karena perdarahan intrauterine)
5. Denyut jantung janin
e. Pertahankan pasien pada posisi dekubitus lateral kiri
f. Persiapan untuk bantuan dengan intervensi medis
g. Ultrasonogram panggul
h. Pemeriksaan imunoglobulin Rh pada wanita yang Rh-
i. Persiapan untuk seksio sesaria darurat atau vagina jika diindikasikan
j. Memberikan dukungan moril kepada pasien dan berpartisipasi dalam proses perawatannya
k. Meningkatkan dukungan nemosional pada pasien
l. Memberikan fasilitas , seperti penasehat spiritual, pekerja sosial
m. Merujuk bila hemodinamikanya stabil

4. Evaluasi
a. Volume cairan tubuh stabil
b. Perdarahan tertangani
c. Tidak terjadi kematian janin
d. Klien tidak terlalu cemas













DAFTAR PUSTAKA


Arif, Mansjoer (et al.). 2000. Kapita Selekta ed.3 Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius.

Purwadianto, Agus & Budi Sampurna. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta : Binarupa Aksara

http://www.siaksoft.net/index.php?option=com_content&task=view&id=2560&Itemid=102&limit=1&limitstart=4

http://library.usu.ac.id/download/fk/obstetri-tmhanafiah2.pdf

Jumat, 02 Oktober 2009

patofisiologi GGK

PATOFISIOLOGI



Penyebab gagal Ginjal Kronik


Perfusi darah ke gunjal terganggu


Jaringan parut


Fleksibilitas parenkim ginjal terganggu



Kerusakan < 75%


Nefron hipertropi


Pemenuhan filtrasi beban solut dan reabsorbsi


Keseimbangan cairan dan elektrolit terganggu
Kerusakan > 75%


Kedepatan reabsorbsi, filtrasi berlebihan


Nefron tidak dapat menkompensasi perubahan yang terjadi


Keseimbangan cairan dan elektrolit terganggu


Diuretik osmotik, rasa haus, oliguri dan peningkatan sisa metabolisme


Ketidakseimbangan kimia darah


Gangguan semua sistem tubuh

Kamis, 10 September 2009

artritis rematoid

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Artritis reumatoid merupakan kasus panjang yang sangat sering diujikan. Bisanya terdapat banyak tanda- tanda fisik. Diagnosa penyakit ini mudah ditegakkan. Tata laksananya sering merupakan masalah utama. Insiden pucak dari artritis reumatoid terjadi pada umur dekade keempat, dan penyakit ini terdapat pada wanita 3 kali lebih sering dari pada laki- laki. Terdapat insiden familial ( HLA DR-4 ditemukan pada 70% pasien ).

Artritis reumatoid diyakini sebagai respon imun terhadap antigen yang tidak diketahui. Stimulusnya dapat virus atau bakterial. Mungkin juga terdapat predisposisi terhadap penyakit.

I.2 Tujuan

1.2.1. Tujuan Umum

Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Artritis Reumatoid, dan sebagai bahan literatur bagi mahasiswa keperawatan.

1.2.2. Tujuan Khusus

Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dan mahasiswa keperawatan dalam :

1. Mengidentifikasi tanda dan gejala Artritis Reumatoid.

2. Memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada penderita Artritis Reumatoid.

3. Mencegah untuk tidak terjadinya komplikasi pada penderita Artritis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENGERTIAN

Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya dikarekteristikan dengan reaksi inflamasi dalam membrane sinovial yang mengarah pada destruksi kartilago sendi dan deformitas lebih lanjut.

( Susan Martin Tucker.1998 )

Artritis Reumatoid ( AR ) adalah kelainan inflamasi yang terutama mengenai mengenai membran sinovial dari persendian dan umumnya ditandai dengan dengan nyeri persendian, kaku sendi, penurunan mobilitas, dan keletihan.

( Diane C. Baughman. 2000 )

Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh.

( Arif Mansjour. 2001 )

2.2. INSIDEN

AR terjadi antara usia 30 tahun dan 50 tahun dengan puncak insiden antara usia 40 tahun dan 60 tahun. Wanita terkena dua sampai tiga kali lebih sering dari pada pria.

2.3. ETIOLOGI

AR adalah suatu penyakit otoimun yang timbul pada individu – individu yang rentang setelah respon imun terhadap agen pencetus yang tidak diketahui. Faktor pencetus mungkin adalah suatu bakteri, mikoplasma, virus yang menginfeksi sendi atau mirip dengan sendi secara antigenis. Biasanya respon antibodi awal terhadap mikro-organisme diperatarai oleh IgG. Walaupun respon ini berhasil mengancurkan mikro-organisme, namun individu yang mengidap AR mulai membentuk antibodi lain biasanya IgM atau IgG, terhadap antibodi Ig G semula. Antibodi ynng ditujukan ke komponen tubuh sendiri ini disebut faktor rematoid ( FR ). FR menetap di kapsul sendi, dan menimbulkan peradangan kronik dan destruksi jaringan AR diperkirakan terjadi karena predisposisi genetik terhadap penyakit autoimun.


2.4. PATOFISIOLOGI

Faktor genetik, infeksi



Sasaran primer Sinovium



Sinovitis Proliferatif








Pelepasan kolagenesa & produksi lisozim o/ fagosit Pembengkakan, kekakuan pergelangan tangan & sendi jari tangan



Erosi sendi & periartikularis P’katan tekanan sendi distensi serta putusnya kapsula & ligamentum










Kista dan kolaps sendi Sublaksasi sendi MCP & p’kembangan penyimpangan ulna klasik sering timbul






Hiperekstensi / deformitas fleksi bisa b’kembang dlm sendi IP ibu jari tangan, sendi PIP jr tgn, sendi MCP & IP jr tgn



Tenosinovitis, jari tng pelatuk, rupture tendo & sindroma terowongan kaspal lazim di temukan



2.5. MANIFESTASI KLINIS

1. Ditetapkan dengan tahapan dan keparahan penyakit.
2. Nyeri sendi, bengkak, hangat, eritema, dan kurang berfungsi adalah gambaran klinis yang klasik.
3. Palpitasi persendian menunjukan jaringan spon atau boggi.
4. Seringkali dapat diaspirasi cairan dari sendi yang mengalami pembengkakan.



Pola karakteristik dari persendian yang terkena

1. Mulai pada persendian kecil ditangan, pergelangan , dan kaki.
2. Secara progresif menenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular.
3. Awitan biasnya akut, bilateral, dan simetris.
4. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, dan nyeri ; kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.
5. Deformitasi tangan dan kaki adalah hal yang umum.

Gambaran Ekstra-artikular

1. Demam, penurunan berat badan, keletihan, anemia
2. Fenomena Raynaud.
3. Nodulus rheumatoid, tidak nyeri tekan dan dapat bergerak bebas, di temukan pada jaringan subkutan di atas tonjolan tulang.

2.6. EVALUASI DIAGNOSIS

1. Beberapa faktor yang menujang diagnosa AR: nodulus reumatoid, inflamasi sendi, temuan laboraturium.
2. Faktor reumatoid ( FR ) terdapat lebih dari 80% pada darah pasien.
3. jumlah sel darah merah dan komponen komplemen C4 menurun.

2.7. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan umum yang lengkap penting di lakukan. Disamping menilai adanya sinovasi pada setiap sendi, perhatian juga hal –hal berikut ini :

1. Keadaan umum – komplikasi steroid, berat badan.
2. Tangan – meliputi vaskulitasi dan fungsi tangan.
3. Lengan – siku dan sendi bahu, nodul rematoid dan pembesaran kelenjar limfe aksila.
4. Wajah. Periksa mata untuk sindroma Sjorgen, skleritis, episkleritis, skleromalasia perforans, katarak, anemia dan tanda – tanda hiperviskositas pada fundus. Kelenjar parotis membesar ( sinroma Sjogren ). Mulut ( kering, karies dentis, ulkus ), suara serak, sendi temporomandibula ( krepitus ). Catatan : artritis rematoid tidak menyebabkan iritasi.
5. Leher – adanya tanda – tanda terkenanya tulang servikal.
6. Toraks. Jantung ( adanya perikarditis, defek konduksi, inkompetensi katup aorta dan mitral ). Paru – paru ( adanya efusi pleural, fibrosis, nodul infark, sindroma Caplan ).
7. Abdomen – adanya splenomegali dan nyeri tekan apigastrik.
8. Panggul dan lutut.
9. Tungkai bawah – adanya ulkus, pembengkakan betis ( kista Baker yang reptur ) neuropati, mononeuritis multipleks dan tanda – tanda kompresi medulla spinalis.
10. Kaki.
11. Urinalisis untuk protein dan darah, serta pemeriksaan rektum untuk menentukan adanya darah.

2.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk menyokong diagnosa (ingat bahwa ini terutama merupakan diagnosa klinis)

1. Tes serologik

(a) faktor rematoid – 70% pasien bersifat seronegatif.

Catatan: 100% dengan factor rematoid yang positif jika terdapat nodul atasindroma

Sjogren

(b) Antibodi antinukleus (AAN)- hasil yang positif terdapat pada kira-kira 20 kasus

2. Foto sinar X pada sendi-sendi yang terkena. Perubahan-perubahan yang dapat di te

mukan adalah:

(a) pembekakan jaringan lunak;

(b) penympitan rongga sendi;

(c) erosi sendi;

(d) osteoporosis juksta artikuler;


Untuk menilai aktivitas penyakit:

1. Erosi progresif pada foto sinar X serial.

2. LED. Ingat bahwa diagnosis banding dari LED yang meningkat pada artritis reumatoid meliputi :

(a) penyakit aktif ;

(b) amiloidosis ;

(c) infeksi ;

(d) sindroma Sjorgen ;

3. Anemia – berat ringannya anemia normakromik biasanya berkaitan dengan aktifitas.

4. Titer factor rematoid – makin tinggi titernya makin mungkin terdapat kelainan ekstra artikuler. Faktor ini terkait dengan aktifitas artritis.

2.9. KOMPLIKASI

Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan komlikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit ( disease modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis reumatoid.

Komlikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.

2.10. PENATALAKSANAAN

Tujuan dari penatalaksanaan termasuk penyuluhan, keseimbangan antara istirahat dan latihan, dan rujukan lembaga di komunitas untuk mendapatkan dukungan.

1. AR dini : penatalaksanaan pengobatan termasuk dosis terapeutik salisilat atau obat – obat antiinflamasi nonsteroid ( NSAIDS ); antimalaria emas, pensilamin, atau sulfasalazin, methotreksat; analgetik selama periode nyeri hebat.
2. AR sedang , erosit: program formal terapi okupasi dan terapi fisik.
3. AR persisten, erisif; pembedahan rekonstruksi dan kortikosteroid.
4. AR tahap lanjut yang tak pulih: preparat immunosupresif, seperti metotreksat, siklosfosfamid, dan azatioprin.
5. Pasien AR sering mengalami anoreksia, penurunan berat badan, dan anemia, sehingga membutuhkan pengkajian riwayat diit yang sangat cermat untuk mengidntifikasi kebiasaan makan dan makanan yang disukai. ( kortikosteroid dapat menstimulasi napsu makan dan menyebabkan penambahan berat badan ).

2.11. PROGNOSIS

Perjalanan penyakit artritis reumatoid sangat bervariasi, bergantung pada ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu lama. Sekitar 50 – 70% pasien artritis reumatoid akan mengalami prognosis yang lebih buruk. Golongan ini umumya meninggi 10 – 15 tahun lebih cepat dari pada orang tanpa arthritis rheumatoid. Penyebab kematiannya adalah infeksi, penyakit jantung, gagal pernapasan, gagal ginjal, dan penyakit saluran cerna. Umumnya mereka memiliki keadaan umum yang buruk, lebih dari 30 buah sendi yang mengalami peradangan, dengan manifestasi ekstraartikuler, dan tingkat pendidikan yang rendah. Golongan ini memerlukan terapi secara agresif dan dini karena kerusakan tulang yang luas dapat terjadi dalam 2 tahun pertama.


BAB III

PROSES KEPERAWATAN

3.1. PENGKAJIAN

1. Kaji citra diri pasien yang berhubungan dengan perubahan muskuloskletal dan tetapkan apakah pasien mengalami keletihan yang tidak lazim, kelemahan umum, nyeri, kaku pada pagi hari, demam, atau anoraksia.
2. Kaji sistem kardiovaskular, pulmonal, dan renal.
3. Kaji persendian dengan pengamatan, palpasi, penyelidikan adanya nyeri tekan, bengkak , dan kemerahan pada sendi yang terkena.
4. Kaji mobilitas sendi, batasan gerak, dan kekuatan otot.
5. Fokuskan pada pengidentifikasi masalah dan faktor – faktor pasien.
6. Kaji kepatuhan terhadap pengobatan dan penatalaksanaan diri.
7. Kumpulan informasi mengenai pemahaman pasien, motivasi, pengetahuan, kemampuan koping, penglaman masa lalu, persepsi dan ketakutan yang tidak diketahui.

3.2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi, kerusakan jaringan, dan immobilitas sendi.
2. Kerusakan immobilitas fisik yang berhubungan dengan keterbatasan gerakan sendi.
3. Gangguan konsep diri yang berhubungan dengan ketergantungan fisik dan psikologis dari penyakit kronis dan kehilangan kebebasan.

3.3. INTERVENSI

DX I :

1. Kaji tingkat nyeri
2. Ajarkan dan lakukan teknik – teknik penatalaksanan nyeri untuk penatalaksanaan jangka pendek segera ( misal gunakan kompres panas dan dingin, istirahat, dan analgesik ).
3. Ajarkan tentang penatalaksaan nyeri jangka panjang ( misal penggunaan obat – obat antiinflamasi, menetapkan regimen latihan untuk mempertahankan mobilitas sendi, dan teknik – teknik relaksasi ).
4. Berikan tindakan yang menghasilkan rasa nyaman ketika memberikan perawatan.
5. Buat pengharapan yang realitis sehingga pasien dan orang terdekat mengenali bahwa nyeri dapat dikontrol tergantung pada aktivitas penyakit.

DX II :

1. Hilangkan nyeri menetap dan kekakuan pada pagi hari untuk meningkatkan kemampuan mobilitas dan perawatan diri pasien.
2. Bantu dan ajarkan dan / atau latihan rentang gerak aktif setelah tindakan kompres panas.
3. Kembangkan dan ajarkan rencana program latihan setiap hari
4. Observasi toleransi pasien terhadap program latihan.
5. Dorong aktivitas perawatan diri dan kemandirian.
6. Pertahankan periode istirahat terencana.
7. Pertahankan lingkungan yang aman.

DX III :

1. Coba untuk memahami reaksi emosional pasien terhadap penyakit.
2. Beri semangat untuk melakukan komunikasi sehingga pasien dan keluarga dapat mengungkapkan perasaan, persepsi, dan ketakutannya yang berhubungan dengan penyakit.
3. Beri dorongan pada pasien dan keluarga untuk patuh terhadap program penatalaksanaan sehingga memungkinkan untuk mencapai hasil yang lebih positif.
4. Anjurkan mengungkapkan rasa takut dan ansietes terhadap proses penyakit.
5. Bantu pasien dalam memilih keterampilan.
6. Terima perubahan prilaku: menyangkal, ketidakberdayaan, ansietas, ketergantungan.
7. Bersikap suportif tetapi tegas dalam menyusun tujuan.
8. Tingkatkan perawatan diri dan libatkan dalam perencanaan perawatan.
9. Dorong kemandirian dan berikan penghargaan trhadap penyelesaian tugas.
10. Modivikasi lingkungan dan sediakan waktu untuk pasien mencapai tujuan.
11. Diskusikan perlunya pembatasan dan perubahan gaya hidup ; berikan empati dan pemahaman.

mielopaty

PENYAKIT DEGENERATIF PADA MEDULA SPINALIS

Pendahuluan
Penyakit degeneratif adalah istilah yang secara medis digunakan untuk
menerangkan adanya suatu proses kemunduran fungsi sel saraf tanpa sebab yang
diketahui, yaitu dari keadaan normal sebelumnya ke keadaan yang lebih buruk.
Penyebab penyakit sering tidak diketahui, termasuk diantaranya kelompok penyakit
yang dipengaruhi oleh faktor genetik atau paling sedikit terjadi pada salah satu
anggota keluarga (faktor familial) sehingga sering disebut penyakit
heredodegeneratif. Cowers tahun 1902 menekankan adanya istilah abiotrophy untuk
penyakit seperti tersebut di atas yang artinya menunjukkan adanya penurunan daya
tahan sel neuron dan mengakibatkan kematian dini. Konsep di atas mewujudkan
hipotesa bahwa proses penuaan (usia) dan penyakit degeneratif dari sel mempunyai
proses dasar yang sama.
Ada beberapa penyakit yang dahulu dimasukkan ke dalam penyakit
degeneratif, tetapi sekarang diketahui mempunyai suatu dasar gangguan metabolik,
toksik dan nutrisi (defisiensi zat tertentu) atau disebabkan suatu slow virus. Dengan
berkembangnya ilmu, memang banyak penyakit yang dulu penyebabnya tidak
diketahui akhirnya diketahui sehingga tidak termasuk penyakit degeneratif.
Sedangkan penyakit yang penyebabnya tidak diketahui dan mempunyai kesamaan
dimana terdapat disintegrasi yang berjalan progresif lambat dari sistem susunan
saraf dimasukkan ke dalam golongan ini.
Istilah yang agak membingungkan yaitu pemakaian yang tidak konsisten dari
istilah atrofi dan degeneratif, dua istilah ini digunakan pada penyakit degeneratif.
Spatz mengatakan bahwa gambarannya secara histopatologis berbeda. Atrofi
gambaran khasnya berupa proses pembusukan dan hilangnya neuron dan tidak
dijumpai produk degeneratif, hanya jarak antar sel yang melebar dan terjadi fibrous
gliosis. Degeneratif menunjukkan proses yang lebih cepat dari kerusakan neuron,
mielin dan jaringan dengan akibat timbulnya produk-produk degeneratif dan reaksi
fagositosis yang hebat dan gliosis selular. Jadi perbedaan atrofi dan proses
degeneratif yaitu pada kecepatan terjadinya dan tipe kerusakannya. Banyak penyakit
yang merupakan proses degeneratif ternyata diketahui kemudian penyebabnya
adalah proses metabolik. Tetapi ternyata pada kejadian atrofi, ada beberapa yang
dasarnya adalah gangguan metabolik juga.
Gambaran klinis umum penyakit degeneratif:
1. Perjalanan penyakit lambat, setelah waktu yang lama dari fungsi saraf yang
normal, kemudian diikuti kemunduran fungsi susunan saraf tertentu yang
bersifat progresif lambat yang dapat berlanjut sampai beberapa tahun atau
puluhan tahun. Pasien sulit menentukan kapan penyakit mulai timbul. Adanya
2002 digitized by USU digital library 2
riwayat kejadian yang dapat mempresipitasi terjadinya penyakit degeneratif,
misalnya kecelakaan, infeksi atau kejadian lain yang diingat sebagai penyakit.
2. Kejadian penyakit yang sama dalam keluarga (bersifat familial)
3. Pada umumnya penyakit degeneratif pada sistem saraf akan terjadi terus
menerus, tidak dapat diperbaiki oleh tindakan medis atau bedah, kadangkadang
penyakit ini ditandai dengan periode yang stabil untuk beberapa
lama. Beberapa gejala dapat dikurangi dengan penatalaksanaan yang baik,
tetapi penyakitnya sendiri tetap progresif.
4. Bilateral simetris. Meskipun kadang-kadang misalnya pada Amyotrophic
lateral skelerosis mula-mula hanya mengenai satu anggota gerak atau salah
satu sisi tubuh, tapi dalam proses selanjutnya menjadi simetris.
5. Hanya mengenai daerah anatomis/fisiologi susunan saraf pusat secara
selektif. Misalnya ALS yang termasuk dalam Motor Neuron Disease yang
terkena adalah motor neuron di kortek serebral, batang otak dan medula
spinalis dan terjadi ataksia yang progresif dimana hanya sel purkinye yang
terkena.
6. Secara histologis bukan hanya sel-sel neuron saja yang hilang tapi juga
dendrit, axon, selubung mielin yang tidak berhubungan dengan reaksi
jaringan dan respon selular.
7. Pada likuor serebrospinalis kadang-kadang terdapat sedikit peningkatan
protein, tetapi pada umumnya tidak menunjukkan kelainan yang berarti.
8. Karena menyebabkan kehilangan jaringan secara radiologis terdapat
pengecilan volume disertai perluasan ruang likuor serebrospinalis.
Permeabilitas sawar darah otak tidak berubah.
9. Laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain sering memberikan hasil yang
negatif. Berbeda dengan penyakit susunan saraf pusat progresif lain seperti
tumor, infeksi, proses inflamasi lain.
10. Pemeriksaan neuroimaging dapat menunjukkan kelainan tertentu, sehingga
dapat membantu menyingkirkan golongan penyakit lain.
Lesi pada medula spinalis termasuk proses degeneratif akan memberikan gejala
suatu lesi intrameduler karena proses degeneratif memang terjadi pada medula
spinalis secara selektif.
Gambaran klinis lesi medula spinalis
1. Mielopati transversa dimana sekuruh jaras asenden dan desenden terkena.
Sehingga terjadi gangguan motorik, sensorik dan vegetatif yang luas.
Penyebab yang tersering adalah trauma, tumor, multiple sklerosis, dan
penyakit pembuluh darah. Penyebab lainnya hematom epidural, abses, hernia
diskus intervertebralis, sindroma parainfeksi dan post vaksinasi.
2. Lesi yang mengenai bagian sentral medula spinalis. Contohnya syringomieli,
hydromieli, tumor intramedular. Medula spinalis dapat terganggu mulai dari
sentral kemudian meluas ke struktur lain dari medula spinalis. Gambaran
khasnya dalah suatu disosiasi sensibilitas. Dengan berjalannya penyakit
bagian anterior dapat terkena pada tingkat lesinya dan mengakibatkan atrofi
neurogenik sentral, parese dan arefleksia. Perluasan ke lateral dapat
menyebabkan sindrome Horner’s ipsilateral (bila mengenai pusat siliospinal
pada lesi di C8-T2), kiposkoliosis (bila mengenai nukleus motorik dari
dorsomedian dan ventromedian yang mempersarafi otot para spinal), paralisa
spastik di bawah lesi bila traktus kortikospinalis terkena. Perluasan ke dorsal
2002 digitized by USU digital library 3
akan mengakibatkan putusnya jaras dorsalis (untuk sensasi posisi dan rasa
getar ipsilateral) dan dengan terkenanya juga daerah ventrolateral akan
menyebabkan gangguan suhu dan nyeri pada medula spinalis di bawah lesi.
Karena secara laminasi traktus spinothalamikus sensasi servikal terletak
dorsomedial dan sensasi sakral terletak ventrolateral, pada lesi
intraparenkimal dapat terjadi sensasi sakral tidak terkena.
3. Lesi di kolumna posterolateral. Dapat terjadi secara selektif pada penyakit
Subacute combine degeneration pada defisiensi Vitamin B12 mielopati
vakuolar oleh sebab AIDS, servikal spondylosis. Terjadi gangguan
proprioseptif dan sensasi vibrarsi pada tungkai sebagai ataksia sensorik.
Ganguan traktus kortikospinal bilateral akan mengakibatkan spasitisitas,
hiperreflesi, dan refleks ekstensor bilateral. Akan tetapi reflek dapat negatif
atau menurun bila disertai neuropati perifer
4. Lesi di kolumna posterior, sering terjadi pada penyakit Tabes dorsalis
(neurosyphillis). Terjadi gangguan sensasi vibrasi dan posisi dan penurunan
rasa raba, juga mengakibatkan ambang sensasi mekanik, taktil, postural,
halusinasi, arah gerak dan posisi, sehingga akan timbul staksia sensorik dan
Romberg yang positif. Cara berjalan yang ataksik. Pasien mengeluh nyeri
‘lancinating’ terutama tungkai. Dapat terjadi inkontinens urine, reflek KPR dan
APR yang negatif. Terdapat Lhermitte’s sign yang disebabkan peningkatan
sensitifitas mekanik pada kolumna dorsalis dimana fleksi leher akan
mengakibatkan peningkatan secara spontan unit-unit sensoris yang aktif dan
ikut sertanya serabut saraf yang lain.
5. Lesi di kornu anterior. Penyakit yang menyerang secara difus kornu anterior
misalnya adalah spinal muskular atrofi (misalnya infantile spinal muscular
atrophy in motor neuron disease). Bila bagian kornu anterior terkena secara
difus terjadi kelemahan secara difus, atrofi, fasikulasi terjadi pada otot batang
tubuh dan ekstremitas. Tonus otot menurun dan ketegangan otot dapat
menurun atau hilang. Gangguan sensorik tidak terjadi karena jaras sensorik
tidak terkena.
6. Kombinasi lesi di kornu anterior dantraktus piramidalis. Hal ini secara
karakteristik terjadi pada Amyotrophic lateral sclerosis. Terjadi gangguan
secara difus dari lower motor neuron (progressive muscular atrophy, parese,
fasikulasi) yang bersamaan dengan gejala lesi UMN (parese, spastisitas,
reflek plantar ekstensor). Tidak ada gangguan sphincter urine dan rektal tidak
ada.
Klassifikasi penyakit degeneratif yang mengenai medula spinalis
I. Syndrome progressive dementia in combination with other neurologic
abnormalities.
A. Cortical spinal degeneration (Jakob) and the Dementia-Parkinson-
Amytrophic lateral sclerosis complex (gumanian and others)
B. Familial dementia with spastic paraparesis
II. Syndrome of progressive ataxia
A. Predominantly spinal forms of hereditary ataxia
1. Friedreich ataxia
2. Strumpell-Lorrain
2002 digitized by USU digital library 4
III. Syndorme of slowly developing muscular weakness and atrophy (nuclear
amiotrophy). Without sensory changes:
1. Amytrophic lateral sclerosis
2. Progressive spinal muscular atrophy
3. Progressive bulbar palsy
4. Primary Lateral sclerosis
5. Heriditary forms of progressive muscular atrophy and spastic
paraplegia
Corticostriatospinal degeneration (Parkinson-Dementia) and Amytrophic
lateral sclerosis complex.
Merupakan penyakit kronik yang mengenai pertengahan danakhir masa
dewasa dan secara klinis gambarannya adanya gangguan intelek dan tingkah laku,
kelemahan, ataksia, spastisitas anggota gerak dan gejala ekstrapiramidal: rigiditas,
gerakanjadi lambat, tremor, postur athetotic, disartri, likuorserebrospinalis normal.
Lesi terdapat difus dan terutama terdapat pada neuron terluar di frontal,
temporal dan girus motorik sentralis, korpus striatum, thalamus ventral, nukleus
motorik batang otak. Pada salah satu dari kasus Jakob perubahan terutama terjadi
pada kornu anterior dan traktus kortikospinalis dari medula spinalis seperti ALS.
Penemuan tersebut menjadikan konsep penyakit ini adalah suatu proses degeneratif
pada kortikospinalis dan sering merupakan penyakit yang terjadi dalam hubungan
keluarga sehingga disebut Creutzfeldt-Jakob disease.
Pasien akan mengalami rigiditas yang hebat, tanda piramidal, ALS yang
berkembang dalam beberapa tahun. Pada stadium akhir dari penyakit biasanya
pasien sadar, tetapi selalu harus dibantu dalam mengerjakan sesuatu, pasien tidak
dapat bicara, menelan dan menggerakkan anggota tubuh dan hanya dapat
menggerakkan bola mata. Fungsi intelek kurang terganggu dibanding motorik.
Penyakit berlangsung progresif dan berakhir fatal dalam 5 – 10 tahun.
Familial dementia with spastic paraparesis
Sering terjadi dengan pada anggota keluarga yang sama pada usia
pertengahan, dimana terjadi paraparese spastik dengan gangguan intelek secara
gradual. Kapasitas mental pasien berkurang secara gradual dan kapasitas untuk
berpikir tingkat tinggi terganggu. Timbul reflek tendo yang meningkat, klonus,
babinski. Berbeda dengan tipe yang dominan, tipe yang diturunkan secara resesif
sering mengenai lebih banyak sistem saraf dan menimbulkan demnetia, ataksia
serebeller dan epilepsi. Gambaran patologi: selain plak senile, dan perubahan
neurofibrillary, terdapat demielinisasi pada masa putih subkortikal dan korpus
kalosum, area yang bercak-bercak tapi meluas dari pembengkakan arteriol, yang
dengan pewarnaan menunjukkan suatu amyloid. Familial spastic paraplegia dapat
juga disertai ataksia cerebellar yang progresif dimana terjadi pula degenerasi
spinocerebellar.
Ataksia Friedreich
Adam memasukkan pula sindrome ataksia yang progresif yaitu ataksia
herediter dengan predominan pada medula spinalis. Penyakit yang termasuk di sini
adalah Ataksia Friedreich. Penyakit ini menurun secara resesif dengan perubahan
patologis dominan pada kolomna posterior, traktus spinoserebellaris, dan traktus
2002 digitized by USU digital library 5
kortikospinalis. Gejala umumnya timbul pada usia muda, 50% terdapat pada usia
kurang dari 10 tahun. Penyakit ini berjalan secara progresif dan biasanya setelah 5
tahun pasien tak dapat berjalan lagi. Laki-laki lebih sering terkena dari pada wanita.
Rata-rata usia kematian adalah 26,5 pada penyakit yang diturunkan secara resesif,
dan 39,5 tahun pada penyakit yang diturunkan secara dominan.
Gejala klinis:
1. Terjadi ataksia sensorik maupun serebeller, terjadi inkoordinasi dari kedua
tungkai bawah. Mula-mula pasien sulit berdiri cepat dan berlari, kemudian
timbul kelelahan, nyeri pada tungkai, kaku setelah latihan berat. Dapat terjadi
kelemahan pada tangan setelah gangguan berjalan, kemudian bicara jadi rero,
lambat, tidak jelas dan eksposif, lengan jadi ataksik dan dapat disertai intensio
tremor. Akhirnya bicara, bernafas, menelan dan tertawa jadi tak terkoordinasi.
2. Rasa getar dan posisi dapat terganggu selanjutnya rasa raba, suhu dan nyeri
terganggu. Romberg positif
3. Reflek tendo kedua tungkai ini menghilang akibat terputusnya jaras sensorik
dari lengkung reflek
4. Refleks Babinski +
5. Sering terjadi deformitas pada kaki. Terjadi pes cavus dengan arkus plantar
yang tinggidan terjadi retraksi pada sensi jari dan fleksi sendi interphlalang
6. Nystagmus + (biasanya horisontal)
7. Peningkatan reflek rahang
8. Dapat disertai ketulian, vertigo, otik atrofi, kardiopati (pada setengah kasus).
Gejala tersebut mirip dengan penyakit degenerasi spinocerebeller yang
herediter, tetapi biasanya pada penyakit ini reflek meningkat.
Gambaran patologi
Medula spinalis tampak mengecil, kolumna posterior, traktus kortikospinalis,
dan spinocerebeller mengandung jaringan medula dan terdapat gliosis fibrosis. Sel
saraf pada kolumna Clarks dan sel saraf yang panjang dari ganglia rasiks dorsalis
terutama daerah lumbosakral berkurang. Sel Betz berkurang tetapi traktus
kortikospinalis relatif tak terganggu. Terdapat pengurangan sel-sel saraf pada sarah
otak VIII, X, XII. Hilangnya sel saraf tingkat ringan sampai sedang juga terjadi pada
nukleus dentatus dan pedunkulus sereblaris superior. Penyusutan sel Purkinye di
vermis superior dan neuron-neuron yang berhubungan dengan nukleus olivari
inferior. Otot miokardial juga mengalami degenerasi dan diganti oleh mippag dan
fibroblas.
Therapi: Therapi trial dengan Physostigmin tablet 60 mg/hari, Thyrotropin releasing
hormon, choline chloride, lecithin, 5 hidroksi triptophan dan benserazide tidak
memperoleh hasil yang memuaskan.
Strumpell Lorrain yaitu bentuk familial spastic paraplegia disertai dengan atrofi optik
dan spastisitas yang berat.
Motor system disease.
Istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kelainan degeneratif
pada medula spinalis, batang otak, korteks motorik, yang secara klinis ditandai
2002 digitized by USU digital library 6
dengan kelemahan otot, atrofi, tanda traktus kortikospinalis pada beberapa variasi
kombinasi. Penyakit mengenai usia pertengahan dan hampir semuanya kematian
terjadi dalam 2 – 6 tahun atau lebih tergantung kasusnya.
Amytrophic lateral sclerosis
Adalah penyakit degeneratif yang progresif akibat degenerasi motor neuron di
kornu anterior medula spinalis, batang otak dan korteks serebri, dengan manifestasi
berupa kelemahan dan atrofi dari otot-otot yang dipersarafi, disertai tanda-tanda
gangguan (degenerasi) traktus kortikospinalis dan beberapa variasi lainnya.
Biasanya tanpa atau hanya sedikit gangguan sensibilitas atau serabut non motor
lainnya.
Etiologi diketahui pasti, ada dugaan penyebabya adalah suatu infeksi virus
(misalnya polio virus latent), toksin dari lingkungan (Beta methyl amino L alanine),
faktor genetik, ada hubungannya dengan lymphoma, logam berat (Pb, Mn, Co, Fe,
Zn, Hg), trauma, gangguan pada DNA, imunologi, gangguan metabolisme glutamat.
Angka kejadian diperkirakan antara 0,4-1,4 kasus tiap 100.000 populasi dengan
rata-rata menyerang dekade ke IV, V, VI, VII. Jarang pada usia kurang dari 35
tahun. Perbandingan laki-laki dan wanita berkisar antara 1,1:1 sampai 2:1. Lebih
banyak mengenai kulit putih dibandingkan kulit hitam.
Secara klinis ALS dibagi dalam beberapa tipe yaitu:
1. Progressive muscular atrophy
Pada tipe ini terjadi proses degeneratif dari motorneuron di kornu anterior
medula spinalis dengan manifestasi klinis kelemahan dan atrofi otot-otot badan
dan anggota gerak yang terlihat pada stadium awal dari penyakitnya. Lesi yang
terjadi biasanya mulai dari daerah servikal medula spinalis, dengan kelemahan,
atrofi dan fasikulasi otot-otot intrinsik tangan, walaupun bisa juga dimulai di
sembarang tempat di kornu anterior medula spinalis. Sebagai gejala awal bisa
juga dimulai dengan kelemahan dan atrofi otot-otot kaki dan paha, sedang otototot
ekstremitas atas masih baik. Kasus yang jarang, kelemahan dimulai dari
pada lengan bagian proksimal yang kemudian meluas ke distal. Pada tipe ini
traktus kortikospinalis tidak terkena, sehingga reflek tendo menurun atau negatif.
Fasikulasi otot bervariasi antara ada dan tidak. Perbandingan antara pria : wanita
yaitu 3,6 ; 1. Five years survival rate 72% bila onset kurang dari 50 tahun dan
bila 40% bila onset lebih dari 50 tahun.
2. Progressive bulbar palsy
Adalah tipe ALS dimana terjadi proses degeneratif pada inti-inti saraf otak di
batang otak, terutama bagian bawah.
Manifestasi klinis:
• Kelemahan dan atrofi dari otot-otot faring, lidah dan wajah. Pada stadium
awal akan memberikan gejala atau kesukaran untuk mengucapkan t,n,r,l
b,m,p,f, dan k,g, yang akhirnya suara penderita menjadi tidak dipahami.
Bicara sulit juga disebabkan karena spastisitas dari lidah, pharing dan
laring yang kemudian diikuti kelemahan atrofi.
• Reflek pharing menghilang dan gerakan palatum serta pita suara tidak
sempurna waktu sedang bicara. Terdapat gangguan mengunyah,
menelan, otot-otot paring tidak bisa mendorong makanan masuk ke
oesophagus, sehingga air dan makanan akan masuk ke trakhea atau
kembali lagi ke hidung. Dapat terlihat fasikulasi lidah dan jawjerk yang
positif.
2002 digitized by USU digital library 7
3. Primary lateral sclerosis
Tipe ini sangat jarang. Proses degeneratif yang terjadi di korteks cerebri
pada area Broadman’s 4 dan 6, dan terlihat proses degeneratif sekunder pada
traktus kortikospinalis. Gejala yang timbul berupa:
• Kelemahan dan spastisitas dari otot-otot badan dan anggota gerak, biasnya
dimulai pada ekstremitas bawah
• Tidak dijumpai atrofi dan fasikulasi
• Reflek regang yang meningkat dan reflek plantar ekstensor bilateral
• Hilangnya reflek superfisial tetapi tidak ada gangguan sensoris.
4. Tipe campuran
Sering dijumpai dengan gambaran klinis merupakan kombinasi dari bentuk
1,2,3. Pada pemeriksaan didapatkan adanya atrofi, fasikulasi, kelemahan
anggota gerak bawah, atas, peningkatan reflek tendon dan ekstensor plantar
positif bilateral. Selanjutnya bila inti batang otak terkena akan menyebabkan
disfagi disartri dan kelemahan otot wajah, tidak terdapat gangguan sensorik.
5. Spinal monomelic amyotrophic
Didapatkan adanya unilateral amyotrophic yang terbatas pada 1 anggota
gerak.
Kriteria ALS menurut El Escorial:
Diagnosis ALS memerlukan tanda-tanda:
1. Tanda LMN
2. Tanda UMN
3. Terdapat progresifitas dari penyakit
Subklasifikasi untuk kriteria diagnostik:
• Definite ALS:
UMN + LMN dengan 3 regio* seperti ALS yang tipikal
• Probable ALS:
UMN + LMN dengan 2 regio dengan tanda UMN dan tanda LMN
• Possible ALS:
UMN + tanda LMN dengan 1 regio atau tanda UMN dengan 2 atau 3 regio,
seperti monomelic ALS, Progressive bulbar palsy, dan Primary lateral
sclerosis.
• Suspected ALS:
LMN dengan 2 atau 3 regio seperti progressive muscular atrophy atau
sindroma motorik lain.
*Regio termasuk: batang otak, brachial, thoraks, trunk, crural.
Patologi:
Gambaran patologi dasar dari ALS yang telah lama dikenal adalah
sebagai berikut:
• Hilangnya motor neuron di kornu anterior medula spinalis dan batang otak
• Hilangnya sel Betz pada korteks serebri dan degenerasi pada traktus
kortikospinalis.
2002 digitized by USU digital library 8
Ditemukan hilangnya sel saraf pada kornu anterior medula spinalis. Sisa sel yang
bertahan bentuknya kecil dan penuh dengan lipofuchsin. Hilangnya sel diganti
dengan jaringan fibrosit dari astrosit. Sel saraf yang besar dan panjang terkena lebih
dahulu dari yang berukuran lebih kecil. Radiks anterior menjadi kecil dan kehilangan
serabut bermielinisasi besar pada saraf motorik. Otot-otot memperlihatkan
gambaran atrofi karena denervasi pada berbagai stadium. Whitehouse et all
menemukan berkurangnya reseptor muskarinik, kolinergik, glisinergik,
benzodiazepam pada medula spinalis dimana terjadi proses degenerasi pada motor
neuronnya. Degenerasi pada traktus kortikospinalis lebih sering terjadi pada bagian
bawah medula spinalis. Dengan pewarnaan lemak terlihat akumulasi makrofag
sebagai respon adanya degenerasi mielin. Terdapat hilangnya sel Betz di kortek
motorik. Serabut pada funikuli ventral dan lateral berkurang, mengakibatkan
gambaran yang pucat pada pewarnaan mielin. Mc-Menemey menginterpretasikan
bila mengenai juga bagian non-motor neuron disebut sebagai motor system disease.
Tetapi peneliti lain menganggap bahwa hal tersebut dikarenakan hilangnya kolateral
dari motor neuron pada lamina propria. Pada ALS dengan demensia terdapat
kehilangan neuron yang luas dan gliosis di premotor area terutama girus superior
frontal dan korteks inferolateral dari lobus temporal.
Diagnostik:
• Harus disingkirkan penyakit lainnya melalui pemeriksaan penunjang:
1. EMG: menunjukkan adanya fibrilasi, fasikulasi, atrofi dan denervasi,
KHST normal, kadang-kadang dijumpai adanya giant action potential
2. Biopsi otot: terdapat atrofi dari fasikulus otot bercampur dengan
fasikulus yang normal
3. Peningkatan enzim otot
4. LP: LCS normal
5. Mielografi: normal
6. MRI: terdapat peningkatan intensitas signal
Penanganan ALS:
Karena sampai sekarang etiologi masih belum jelas, belum ada pengobatan
yang tepat. Penanganan yang dapat dilakukan adalah terapi konservatif dan
fisioterapi.
Prognosa:
Pasien dapat hidup 10-15 tahun dari awitan. Bila terdapat gangguan pada
otot-otot
untuk menelan prognosanya lebih jelek.
Heredofamilial forms of progressive muscular atrophy and spastic parpaplegia
Wednig Hoffman Disease (Infantile progressive spinal muscular atrophy)
Merupakan bentuk klasik dari spinal muskular atrofi tipe herediter (Tipe I).
SMA ini ditandai dengan kelemahan akibat terkenanya seluruh otot sebelum usia 3
tahun. Diturunkan secara autosomal resesif, insiden 1:20.000 kelahiran hidup, dan
1/3 kasus sudah terlihat pada saat lahir karena kurangnya aktifitas dan adanya
deformitas. 95% dari kasus onset dimulai sebelum usia 4 bulan. Kelemahan umum,
hipotoni, sukar makan adalah gejala utama. Bila terdapat kesusahan bernapas
merupakan gejala fatal. Pasien ini umumnya bertahan sampai 6 bulan sesudah onset
dan 95% meninggal pada usia 18 bulan. Fasikulasi terlihat jelas pada lidah atau
tempat lain maupun pada pemeriksaan EMG. Secara patologis didapat kerusakan
motor neuron yang berat tetapi sel tetap ada, yang terjadi adalah pembesaran sel
2002 digitized by USU digital library 9
dan kromatolisis, atrofi radiks motorik sedang radiks sensorik normal. Pada otot
skeletal terjadi denervasi yang berat dan hampir merata.
Spinal muscular atrophy type II (infantil kronik/late infantil)
Onset relatif lambat dibanding tipe I, umumnya muncul sebelum usia 2 tahun.
Gambaran klinis: terjadinya kelemahan otot. Kira-kira 25% bayi dapat duduk tanpa
dibantu dan dapat belajar berjalan. Fasikulasi dan atrofi lidah positif tapi fasikulasi
tak ditemui pada anggota gerak. Reflek tendon menghilang. Progresifitas lambat usia
harapan hidup bervariasi dari 14-30 tahun. Skoliosis terjadi pada pasien yang tidak
difisioterapi, lebih lanjut terjadi gangguan respirasi, adanya deformitas akan
memperburuk keadaan.
Chronic proximal spinal muscular atrophy (PSMA, Wohlfart-Kugelberg-Welander
Syndorme)
Gangguan mengenai otot proksimal dari anggota gerak dan berkembang
sangat lambat. Sepertiga kasus terjadi sebelum usia 2 tahun dan 50% antara 3-18
tahun. Laki-laki lebih sering terkena, terutama pada usia remaja dan tua. Bentuk ini
diturunkan pada gen autosom resesif dan sexlinked. Kelemahan dan atrofi biasanya
terjadi secara lambat dimulai digelang panggul dan otot proksimal lengan. Biasanya
simetris sejak awal penyakit. Fasikulasi dijumpai pada setengah dari status. Bila
bagian distal dari anggota gerak terkena maka reflek tendon hilang, otot bulbar dan
traktus kortikospinalis tidak terkena, meskipun Babinski dapat muncul dan
berhubungan dengan ophthalmoplegia. Pada EMG dapat ditemukan fasikulasi
spontan dan denerval khronis, pada biopsi otot ditemukan atrofi neural dan hipertrofi
serabut dan hilangnya dan proses degenratif pada kornu anterior. Pada pemeriksaan
enzim didapatkan enzim CPK yang meninggi.
Bentuk fokal penyakit ini:
1. Scapulohumeral. Biasanya jinak tetapi dapat berkembang dengan cepat. Pada
orang dewasa kematian terjadi dalam 3 tahun oleh karena respiratory failure.
2. Scapuloperoneal. Bentuk ini terdapat pada dewasa muda dan dewasa. Atrofi
melibatkan otot scapula dan pariscapula dan bagian anterior dari tungkai.
3. Miopati okuler. Otot yang terkena adalah otot wajah dan okuler (biasanya
hanya satu otot yang terkena), terdapat pada anak dan dewasa
4. Fazio Londe. Bentuk yang paling progresif, dimulai dari usia dini, atrofi otot
yang meliputi neuron motorik bulbar sehingga terjadi kelemahan otot okuler,
wajah, faring. Kematian biasanya karena respiratory faulure.
Hereditary spatic paraplegia or diplegia
Penyakit diturunkan secara otosomal dominan, jarang resesif dan onset dapat
dimulai sejak masa kanak-kanak sampai orang tua.
Gambaran klinis:
• Timbulnya keleahan yang bersifat spastik secara gradual pada tungkai yang
mengakibatkan kesukaran berjalan
• Reflek tendon yang meningkat dengan reflek plantar ekstensor
• Sensorik dan fungsi saraf lain normal. Bila terjadi mulai kanak-kanak, kaki
jadi melengkung dan memendek dan terdapat pseudokontraktur dari otot
betis, mengakibatkan jalannya menggunakan ujung jari-jari. Kadang-kadang
lutut tampak fleksi ringan dan lengan ekstensi serta adduksi
2002 digitized by USU digital library 10
• Otot lengan terkena dalam berbagai tingkatan. Tangan jadi kaku, lemah,
bicara disartri
• Fungsi sphincter tak terganggu
• Sering bersamaan dengan nistagmus, kelemahan saraf otak, optik atrofi,
degenerasi makular pigmentasi, ataksia, epilepsi, dementia
• Gambaran patologi menunjukkan degenerasi dari traktus kortikospinalis,
penipisan dari kolumna Goll, terutama regio lumbal dan traktus
spinocerebellaris. Dilaporkan juga terdapat berkurangnya sel Betz di kornu
anterior.
Variants of familial spastic paraplegia
1. Hereditary spastic paraplegia with spinocerebellar and ocular synptoms.
Terjadi gangguan gaze. Manifestasi ataksia spinocerebellar dimulai pada
dekade 4 dan 5 dimana terjadi kelemahan tungkai, perubahan mood, tertawa
dan menangis yang patologik, disartri dan diplopia, disetesia anggota gerak,
dan terganggunya kontrol kandung kencing. Reflek tendon positif dengan
bilateral babinski. Gangguan sensorik dimulai pada ujung distal ekstremitas
2. Hereditary spastic paraplegia with ekstrapiramidal symptoms.
Terdapat tremor saat istirahat dan bekerja, rigiditas parkinson, gerakan lidah
yang distonia dan gerakan athetoid dari anggota gerak.
3. Hereditary spastic paraplegia with optic atrophy (Behr syndrome)
4. Hereditary spastic paraplegia with retinal degeneration. (Kjellin syndrome).
Paraplegi spastik dengan amiotrophy, oligophrenia dan degenerasi retina
sentral. Bila terdapat ophtalmoplegi disebut Barnard Scholz syndrome
5. Hereditary spastic paraplegia with mental retardation or dementia
6. Hereditary spastic paraplegia with polyneuropathy
Penyakit yang oleh De Jong juga dimasukkan dalam penyakit degeneratif
yaitu:
1. Tabes dorsalis
Penyakit ini merupakan suatu bentuk neurosiphilis yang secara patologis
ditandai dengan terjadinya degenerasi pada radiks posterior dan kolumna
dorsalis medula spinalis. Keadaan ini merupakan 1,3 – 5% dari penderita
neurosiphilis. Gejala klinis timbul sesudah lebih dari 10 sampai 20 tahun
infeksi primer, sehingga umumnya penderita Tabes dorsalis berumur 40-60
tahun.
Gejala klinis:
• Hilangnya sensasi proprioseptif mengakibatkan ataksia sensoris
(sekunder terhadap kerusakan funikulus dorsalis)
• Terkenanya radiks posterior dan ganglion dorsalis menyebabkan nyeri
radiks, rasa terikat, penurunan reflek dan terlambatnya reaksi nyeri
• Dapat terjadi gangguan fungsi kandung kemih tipe atonik,
inkontinentia alvi, impotens, gangguan tropik dengan akibat timbulnya
lesi ulseratif dan atropati tip charchot.
2. Multipel sklerosis
Merupakan penyakit yang dapat menyerang secara luas sistem saraf pusat
danbelum diketahui dengan jelas sebabnya. Penyakit ini ditandai dengan
bercak-bercak demielinisasi yang tersebar terutamapada masa putih. Bercak
ini pada tingkat lanjut berupa bercak sklerotik yang tersebar perivaskuler.
Angka kejadian sklerosis ditemukan sangat tinggi di Eropa Barat, dapat
mencapai 80/100.000 penduduk. Umumnya serangan pertama terjadi pada
2002 digitized by USU digital library 11
umur muda 20-40 tahun, kadang-kadang umur 12-15 tahun. Laki-laki lebih
sering dari wanita. Keadaan ini pada 60-90% penderita diikuti gejala remisis
dan relaps.
Gejala klinis:
• Neuromielitis optika, selain adanya neuritis optika (biasanya unilateral
45%) juga disertai adanya mielopati yang progresif disertai nyeri dan
parestesi
• Terdapat 3 bentuk spinal dari multipel sklerosis:
1. Bentuk spinal dengan gejala paraplegia spastik yang progresif
2. Bentuk dengan lesi spinal unilateral sehingga gejala klinis dapat
berupa gejala brownn sequard yang parsial
3. Bentuk sakral. Bercak lesi terdapat di konus sehingga terdapat
gejala konus. Lesi medula spinalis dapat berupa mielitis tranversa
atau ascending.
• Gejala motorik umumnya terdapat kelemahan otot tanpa atrofi
(spastik parese), bila ditemukan atrofi umumnya hanya pada otot
kecil tangan.
• Reflek regang meningkat, hilangnya reflek superfisial, gangguan
piramidal disertai gangguan proprioseptif dan ataksi sensorik.
• Gejala Lhermitte yang positif danbermacam gejala sensibilitas
• Kontrol spincter sering terganggu
• Pada 70% penderita terdapat gejala nistagmus, tremor intension dan
bicara meletup-letup dan disebut sindroma charcot.
Gambaran patologi: terjadi gliosis dan demielinisasi pada fasikulus grasilis
dan juga atrofi dari ganglion. Terjadi perivascular lymphocytic cuffing dan
dapat terjadi iskemi sekunder yang menyebabkan gangguan proprioseptif dan
kelemahan yang progresif dari ekstremitas bawah.
3. Posterolateral sklerosis
Ditandai dengan perubahan patologis yang mengenai terutama kolumna
lateral (jaras piramidal) dan funikulus posterior.
Gambaran klinis ditandai dengan kelemahan dan hiperrefleksi akibat
terganggunya traktus piramidalis, hilangnya sensasi propioseptif dengan
ataksia sensoris, dapat terjadi gangguan otonomik dari kandung kencing dan
rektum dan impotensi.
Penyakit tersebut diatas sering berhubungan dengan anemi pernisiosa,
gangguan defisiensi lain seperti pellagra, DM, ketuaan, multipel sklerosis.
Contoh penyakit yang terkenal adalah subacute combined degeneration dan
Mieloneuropati tropika (yang terdiri atas tropikal ataksi neuropati dan tropikal
spastik paraparese)
a. Subacute combined degeneration
Terjadi pada ± 16% pasien dengan defisiensi vitamin B12.
Patologi: Kekurangan vitamin B12 akan mengganggu melalui siklus
Krebs sehingga terbentuk asam lemak yang tidak normal dan
mengganggu pembentukan mielin.
Gejala klinis:
• Parestesi dimulai dari bagian distal ke proksimal dengan
distribusi simetris pada keempat anggota gerak
• Terdapat parese yang spastik akibat gangguan traktus
kortikospinalis
• Reflek tendon bisa menurun atau meningkat, reflek patologis
positif (50%)
2002 digitized by USU digital library 12
• Dapat terjadi disfungsi kandung kemih, gangguan mental dan
visual
b. Mieloneuropati tropika dibagi atas 2 grup:
1. Tropikal ataksi neuropati dengan gejala utama sensori
ataksia
2. Tropikal spastik paraparese dengan predominan spastik
paraplegi dengan minimal defisit neurologi
Etilogi mieloneuropati tropika: defisiensi Vitamin B12,
keracunan cassava, viral, pemakaian daun Lathyrus.
1. Tropikal ataksi neuropati
Faktor predisposisi adalah kehamilan, laktasi, penyakit malnutrisi.
Gejala klinis dimulai dengan parestesi bagian distal tungkai,
disertai baal, gangguan sensorik pada kolumna posterior,
perubahan tonus otot, gait ataksia, bilateral optik atrofi (hilangnya
visus), tuli perseptif dan gejala LMN.
2. Tropikal spastik paraparese
Gangguan terutama adalah terkenanya traktus piramidalis dan
dapat pula mengenai kolumna posterior. Predominan dapat
mengenai lumbal mengakibatkan gangguan berjalan, jalan jadi
lemah dan kaku, lebih dari setengahnya asimetris, hiperrefleksi
dan babinski bilateral. Perjalanan penyakit berlangsung subakut
sampai kronis. Dapat timbul defisit sensorik terutama nyeri dan
suhu dengan segmental tidak jelas.
Menurut penelitian dapat terjadi pada infeksi Human-TLimphotropic
Virus Tipe I dan terjadi mielopati yang bersifat
khronis progresif. Angka kejadian yaitu 1/250 penderita HTLV-1.
Gambaran patologi: terjadi degenerasi dan demielinisasi yang
mengenai traktus piramidalis, dpinicerebeller, spinothlamikus.
Terjadi penebalan hyelinoid dari tunika adventitta dan media
pembuluh darah otak, medula spinalis dan ruang subrahnois
dimana pembuluh darah tampak dikelilingi lekosit, astrosit gliosis
dan makrofag dan terjadi vakuolisasi di pinggir dari lesi.
4. Siringomieli
Merupakan suatu penyakit dimana terjadi perubahan patologik yang terdiri
dari gliosis, nekrosis dan kavitasi pada bagian sentral medula spinalis dan
sering meluas ke medula ( siringobulbi). Sering terjadi dengan kelainan
perkembangan dan gangguan pembuluh darah yang mengakibatkan
insufisiensi vaskuler pada area yang terkena. Dapat terjadi pada trauma,
kompresi, lesi ekstrameduler, post infeksi yang dapat dibedakan dari
siringomieli. Degenerasi terjadi pada pelebaran servikal dan dimulai paad
regio ireguler. Kanalnya sendiri tidak selalu ikut dengan proses. Onset dapat
terjadi pada usia 25-40 tahun, dapat terjadi beberapa bulan sampai 20 tahun
sesudah terjadinya trauma, 15 tahun setelah arakhnoiditid TBC.
Gejala klinis:
• Dengan terkenanya jaras dekusatio sensorik gambaran utamanya
adalah hilangnya rasa nyeri dan suhu pada dermatom tersebut
sedangkan rasa raba masih baik.
• Bila proses sudah mengenai bagian kornu anterior akan terjadi parese
fokal, atrofi dan fasikulasi juga terganggunya kolumna intermedilateral
dengan akibat terganggunya sistem otonom
2002 digitized by USU digital library 13
• Selanjutnya dapat terjadi penekanan jaras kortikospinalis dengan
parese tipe UMN dan terputusnya jaras spinotalamikus lateral dengan
akibat gangguan tropik.
Penutup
Telah dibicarakan penyakit degeneratif pada medula spinalis, dimana
umumnya terjadi proses kemunduran fungsi sel neuron yang penyebabnya tidak
diketahui. Dengan berkembangnya ilmu telah ditemukan penyebab suatu penyakit
sehingga ada beberapa yang tidak dimasukkan ke dalam penyakit degeneratif
kembali.
Penyakit degeneratif umumnya berjalan kronik progresif dan therapi yang
memuaskan belum didapat.